Sepertinya Alaska masih marah padanya.
Jinan menghela napas seraya menatap jalanan ketika menuju sekolah. Karena Alaska tidak menjemputnya, Pak Edy kembali melakukan rutinitasnya seperti waktu itu—mengantar jemputnya. Kemarin dia diantar Pak Edy. Tapi di waktu pulang, Jinan berkata bahwa dia tidak usah diantar jemput, melainkan bersama teman. Padahal Jinan menggunakan ojek online saja.
Bukan tanpa sebab, tapi dia tidak mau Pak Edy menjadi kerepotan apalagi beliau adalah supir pribadi keluarga Alaska. Awalnya beliau menolak, tapi Jinan berusaha meyakini. Gadis itu turun dari motor dan menyerahkan helm, lalu berjalan lunglai ke kelas. Di satu sisi ia merasa bersalah, tapi sisi yang lain, ia pikir harusnya Alaska tidak usah marah sebesar itu. Alaska tidak tahu seberapa berharga barang itu untuk Jinan. Mungkin gampang mengatakan jika mereka bisa membeli lagi, tapi maknanya akan berbeda. Jadilah hari ini, Jinan menunduk hingga rambutnya nyaris menutupi seluruh wajah karena tidak ada jepit rambut yang tersampir.
"Kenapa lo lemes banget?" tanya Neli heran. Dia yang semula mengaplikasikan bedak di wajah, jadi menoleh heran. "Biasanya lemes, sih. Tapi yang ini lemesnya keknya beda, nih."
Jinan menaruh tas, lalu membenamkan wajah di lipatan tangan. "Nggak pa-pa."
"Yeee... tapi mukanya kusut banget. Sini pake liptint biar cakep."
Jinan menggeleng. "Gamau..."
Neli menghela napas seraya menggeleng-geleng. "Pasti karena nggak ketemu Alaska, ya lo?"
Jinan jadi mengangkat wajah. "Nggak tuh."
Neli memberikan wajah siap mencibir. "Terus apaan dong? Yang bikin lo lemes kan selain Karel, pasti Alaska dong? Karel kayanya udah nggak mungkin karena keliatan lo udah move on, tapi Alaska?"
"Ck, nggak kok," denial Jinan. Tidak mungkin Neli bisa jadi secenayang ini karena tebakannya benar. Tentu saja malu mengakuinya.
"Paling besok juga udah sembuh itu anak. Biarin aja lah."
Mendengar itu, Jinan langsung kaget. "Sembuh? Sembuh kenapa? Emangnya dia sakit?"
Neli juga kaget. "Emangnya lo nggak tau?"
Jinan menggeleng. Bahunya jadi lemas. "Sakit... apa?"
"Jadi gini, kemaren gue disuruh kasih kue ke mamanya Alaska. Mamanya bilang Alaska sakit dari beberapa hari lalu, demamnya tinggi banget. Alaska maksa mau sekolah tapi nggak dibolehin, mana mau dibawa ke RS juga nggak mau. Jadinya di rumah doang."
Jinan terkejut tapj dia bingung harus bereaksi seperti apa. "Dia nggak ada ngomong sih sama gue."
"Mungkin dia gengsi." Neli mengibaskan tangannya. "Pulang nanti mau jenguk, nggak? Ayo nanti gue temenin."
Mendengar itu, Jinan sempat tergiur. Tapi Alaska kan sedang marah dengannya, apa.... tidak akan bahaya? Maksudnya, Jinan takut Alaska akan terganggu dengan kehadirannya. "Emang boleh?"
"Ya bolehlahhh. Udah, pokoknya pulang sekolah kita bareng, okeey? Hari ini kebetulan gue bawa mobil. Jadi lo jangan pake ojek online. Lo kenapa sih nggak pernah mau gue anter jemput?!" dumel Neli. "Cemburu gue. Temen yang lain berangkat bareng, eh gue malah sama sopir, kadang-kadang sendirian."
Jinan terkekeh kecil. "Sorry..."
Pulang sekolah berakhir, mereka langsung pergi ke rumah Alaska. Setelah memencet bel dan dipersilakan masuk oleh Bi Lani—asisten rumah tangga mereka, Neli lantas menyapa ibu Alaska yang sedang bersiap. "Halo, tanteee. Mau balik ke RS, ya, Tan?"
Tante Hanna yang sedang mengenakan sepatu mengangkat wajah saat sedang duduk di sofa. Wanita anggun itu tersenyum. "Iya, Neli. Mau ketemu Alaska?"
Neli mengangguk semangat. "Iyaaa, mau jenguk Alaska. Ni sama Jinan."
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Fiksi RemajaHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...