61

57 1 0
                                    

Ya, apakah mimpi?

Alaska membuka mata dan napasnya berujung memburu seperti habis dikejar. Peluh membanjiri wajahnya. Ia menatap langit kamar lalu terduduk. Tidak ada siapa-siapa di kasurnya.

Matanya berlari ke sofa, hanya ada Jinan di sana sedang tidur pulas bersandar pada pinggiran sofa. Gadis itu terlihat tenang dan damai dalam tidurnya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Pasti gadis itu juga lelah sehabis pulang sekolah dan malah menunggu Neli. Tarikan napas Alaska serasa berat, ia lalu memijat pelipisnya.

Suhu tubuh yang tinggi membuat halusinasi dan mimpi aneh datang. Tidak ada Jinan di kasurnya. Bahkan ia sama seperti posisi pertama kali tidur. Ternyata hanya mimpi. Sama seperti malam sebelumnya, dia juga dihantui mimpi buruk. Demam yang tinggi memang berpengaruh ke psikisnya. Alaska membaringkan tubuh lagi, juga membiarkan Jinan beristirahat. Di nakas juga ada bubur ayam hangat yang baru selesai dimasak. Tapi tidak ada kendali rasanya Alaska untuk meraih itu.

Pikirannya masih berkelana kepada alam mimpi tadi. Mengapa bisa... dia menjadi seberani itu? Alaska memejamkan mata seraya menghela napas panjang.

Mencoba menghilangkan rasa basah dan hangat di bibirnya. Menghilangkan ingatan di mimpi bagaimana dia nyaris kehilangan kendali menjamah segala milik Jinan. Menghilangkan ingatan tentang suara merdu lenguhan Jinan. Dia memaki pelan. Tiba-tiba menyalahkan Jinan yang sering menggoda, berakhir dia sendiri yang didatangi mimpi aneh.

..

"Ada tambahan lagi, Mbak?"

Serene menggeleng seraya menyodorkan uang seratus seribuan. Setelah mendapat kembalian, dia meraih sebotol minuman dan sebatang coklat kesukaannya. Anehnya, begitu melihat ada bangku kosong di depan minimarket, ia lantas duduk di sana secara random. Tidak seperti biasanya yang memilih langsung pulang.

Ternyata tidak buruk juga. Mungkin orang-orang memandangnya sebagai perempuan high class yang tidak mungkin mendudukan diri di sini, apalagi dengan hanya mengenakan hoodie dan celana panjang di atas meja minimarket yang berserakan puntung rokok. Bodo amat. Serena hanya ingin menenangkan diri.

Pikirannya ruwet. Kadang dia berpikir, apa yang membentuk keegoisan di dalam diri orangtua sampai tidak peduli dengan anaknya? Atau ada yang melempar ke sana ke mari? Serena menghela napas. Berlari dari istana rumahnya yang tiap hari meributkan hal sepele. Dia benar-benar lelah.

"Kok di sini?"

Serena mendongak menatap satu laki-laki yang berdiri menjulang di hadapannya dengan memegang sebuah paper cup berisi kopi hangat. Dia kaget tapi cukup baik mengendalikan ekspresi. "Kamu yang kenapa bisa di sini."

Karel tersenyum. "Aku biasanya emang ke sini kalo malem. Abis dari mana?"

"Dari apart."

Karel mengangguk-angguk seraya menatap sekitar. Lalu kembali menatapnya lagi. "Boleh duduk di sini nggak?"

"Duduk aja."

Karel duduk, masih memperhatikan Serena yang menatap ke arah lain. Wajahnya tenang dan terlihat lebih cantik. "Kenapa ke sini? Apart kamu kan jauh."

Serena mendengus. Tentu saja dia ingin menemui Karel tapi dia gengsi. Dia gengsi meminta lewat chat. Dan juga gengsi mendatangi langsung. Jadilah dia duduk di minimarket 24 jam dekat rumah Karel. "Jalan-jalan aja. Emang nggak boleh?

"Ya boleh aja. Tau gitu aku bisa nemenin kamu."

"Kamu aja sibuk terus."

Karel mengiyakan. Belakangan dia sibuk dengan banyak hal. Basket, mengurus kuliah, kadang dia mendapat tawaran sebagai asisten konsultan di perusahaan mama, menemani mama kontrol. "Sorry."

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang