77

60 1 0
                                    

Parkiran sudah sepi sekali, apalagi ini hari terakhir ujian sekaligus hari terakhir siswa kelas sepuluh dan sebelas libur. Jinan juga sedang duduk di halte seraya menikmati minuman dinginnya untuk menunggu Alaska. Untung cuaca tidak terlalu panas hari ini.

Yah, sepertinya keputusannya tentang lulus nanti sudah bulat. Dia sudah memutuskannya dengan matang tadi malam. Meski dia sendiri tidak tahu apakah sewaktu-waktu rencana itu dapat berubah atau tidak. Neli sudah pasti di Jogja. Alaska jangan ditanya lagi. Dia akan sendirian di Jakarta nanti. Pasti akan terasa sepi sekali mengingat dia hanya memiliki dua orang kesayangannya, tapi tentu Jinan tidak bisa egois, bukan? Bagaimana pun, Jinan harus ikut bahagia dengan pilihan masa depan mereka.

Jinan agak mengangguk dengan senyuman tipis ketika seseorang mengambil duduk di sebelah. Sepertinya ikut menunggu jemputan juga. Wajahnya agak asing karena sesering itu Jinan menunggu di halte, baru kali ini ada gadis dengan wajah datar itu. Hening di antara keduanya juga membuat dirinya sedikit canggung mengingat dirinya yang tidak terlalu pandai memulai percakapan dengan orang baru.

"Lo Jinan, kan?"

Jinan menoleh dengan sedikit terkejut ketika gadis di sampingnya membuka suara apalagi sampai menyebut namanya. Mau tidak mau dia mengangguk. "Iya. Kenapa?"

Gadis itu tidak menoleh, hanya menatap lurus ke depan seolah memang menghindar bersitatap. Ada jeda cukup panjang di sana.

"Maaf."

Alis Jinan terangkat bingung. "Maaf... kenapa?"

Helaan napas halus terdengar, gadis itu mungkin bingung menyusun kalimat yang paling pas untuk dikatakannya. "Lo masih inget kalo gue yang nyiram seragam lo pale minuman?"

Jinan mencoba melempar ingatannya sebentar. "Minuman?"

"Iya. Gue bukannya nggak sengaja, tapi beneran sengaja." Kali ini gadis itu dengan pelan menatapnya di mata lewat kacamata berbingkai bulat itu. "Gue disuruh Aldo buat basahin seragam lo. Awalnya gue nggak tau niat dia apa, tapi... gue diancem. Katanya kalo nggak lakuin apa yang dia minta, gue bakal disekap."

Ah, Jinan langsung mengingat itu serta wajah di depannya. Gabriella, namanya. Kelas mereka dibatasi beberapa kelas karena Gabriella ada di IPS-1. Jujur saja, dia jadi bingung bagaimana meresponnya. "O-oh, gapapa kok. Aldo emang punya dendam sama gue."

"Maaf sekali lagi. Gue tau lo nggak nemu cadangan seragam di koperasi karena Aldo tau waktu itu stok seragam belum dateng dan juga gue nggak tau apa yang selanjutnya dia perbuat sama lo."

"Nggak pa-pa, udah terjadi juga." Jinan tersenyum lembut. Lagian juga dia tidak kepikiran dengan gadis yang pernah menabraknya dengan minuman itu. "Masalah sama Aldo juga udah clear, dia udah di-skors dan nggak bisa ikut ujian tahun ini. Jadi dia lulus tahun depan, gue lega. Gue yang harusnya minta maaf karena jadi nyeret lo ke masalah ini."

Gabriella menggeleng pelan. Dia tidak tahu kalau Jinan ternyata sebesar ini hatinya. "Harusnya gue bisa tegas, tapi gue nggak berani. Tapi gue bersyukur lo nggak diapa-apain kan sama dia?"

"Berantem dikit," kekeh Jinan. "Tapi makasih ya udah inget ini. Gue jadi tau lo."

Gabriella hanya tersenyum tipis dengan anggukan. Mobil hitam berhenti tepat di depan mereka, tidak lama Alaska keluar dan mendatangi Jinan. "Jinan."

Jinan melambai kecil kemudian berdiri. Gadis itu menoleh pada Gabriella. "Gue duluan, ya. Salam kenal, Gabriella."

Gabriella agak terkejut, lalu mengangguk dengan senyuman. "Hati-hati. Salam kenal, Jinan."

Alaska mengangguk sedikit pada Gabriella yang terpaku diam di sana. Setelah itu mobil keduanya melaju pergi dari hadapan Gabriella yang memegang jantungnya. Helaan napasnya menjadi sedikit berat beserta degup jantung yang meningkat.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang