Yang 10 tahun lalu ...
-
"Ngapain, sih, pake hubungin ke sini segala, hah? Urusin aja sana istri baru atau lonte-lonte pesenan kamu itu. Mau apalagi emangnya!" Deline berteriak marah seraya menggenggam telepon. Matanya merah dengan rambut kacau. Sekitarnya juga kacau—bagaimana ruang tengah sana sama kacaunya dipenuhi puntung rokok, botol miras, beberapa bungkus makanan.
"Ngapain nanya-nanya Jinan? Paling gede dia juga jadi lonte. Inget ya, Mar, kelakuan kamu bakal jadi karma. Aku udah nggak peduli kamu mau sama istri baru kek, perempuan lain, atau bahkan kamu mati sekali pun! Jangan minta ketemu sama Jinan! Mau kamu apain? Mau kamu jual? Kalo cuma mau kamu urus mending nggak usah."
Sambungan telepon dimatikan dan meja langsung berdebum keras akinat bantingan telepon itu. Mengagetkan Jinan yang kala itu memeluk Coco—anjing kesayangannya. Bagi Jinan yang masih berumur 8 tahun, sedikit banyak dia mengerti ucapan ibunya tadi, tapi yang dilakukannya hanya menutup telinga Coco. "Ssst, Coco tidur aja, ya. Mama kadang-kadang suka ngomel," bisiknya pelan.
Di umur 8 tahun, memiliki Coco nyatanya sudah lebih dari cukup. Setiap pulang sekolah, jika mama tidak ada di rumah karena belum pulang, Jinan akan memasak bahan makanan seadanya lalu bagi berdua dengan Coco. Mandi sore juga selalu bersama Coco. Kemudian jika menjelang malam setelah membereskan rumah dan menunggu mama pulang, Jinan akan mengajak Coco bermain atau membaca buku cerita bersama—yang tentu saja tidak dimengerti Coco.
Jinan kecil selalu memandang dunia dengan begitu sederhana. Dia tidak pernah bertanya lagi tentang ayahnya semenjak pertama kali dia pernah bertanya, dia malah dipukuli. Padahal alasannya bertanya adalah karena mendengar cerita-cerita temannya tentang sosok ayah mereka. Setelah itu, Jinan terbiasa hidup tanpa laki-laki di hidup mereka—meski beberapa kali, dia melihat mama membawa pacar.
Sesederhana ketika dia salah, artinya dia harus dipukuli. Memar, membiru, lebam, menangis, lalu hidup akan berjalan seperti biasa. Dia hanya akan menangis memeluk Coco, lalu mengajak anjing kecil itu berlari lagi di kamarnya sendiri.
Sampai di waktu malam, Coco mati di tangan mama. Dia melihat sendiri bagaimana Coco dilempar, kemudian terbanting. Lantai banjir darah. Yag Jinan dengar hanya suara tangisnya sendiri beraama ringkihan Coco di pelukannya. Baju Jinan penuh darah sampai membasahi celana. Mama masih mengamuk dan langsung menendang Jinan sampai terpental. Dia tidak tahu mengapa mama mengamuk malam itu.
Yang dia tahu, Coco mati.
Menjelang subuh, Jinan diam-diam pergi ke halaman belakang rumah untuk mengubur Coco. Kemudian mengubur wajah di tanah untuk menangis sejadi-jadinya. Seolah dia takut jika mama mendengar tangisan, dia dan Coco akan dipukuli lagi. Dua hari Jinan tidak mau mengganti baju bekas darah Coco. Sampai mama memukulnya lagi dan lagi.
Dari situ, Jinan takit mendekat pada hewan peliharaan lagi. Dia memutuskan untuk tidak menyentuh hewan mana pun.
.
"Mama kamu ke mana? Kok nggak pernah dateng?" tanya salah satu teman Jinan.
Hari ini adalah upacara pembagian raport. Sudah beberapa kali guru memanggil nama orangtuanya, tetapi tidak ada yang datang. Beberapa orangtua murid lain juga menatapnya dengan kasihan, tapi Jinan hanya menatap polos.
"Mama kerja, Bu Guru. Boleh nggak kalau saya ambil sendiri aja?"
Bu Guru itu memandang Jinan prihatin. "Memangnya nggak bisa dihubungi? Jinan tau nomor teleponnya?"
Jinan menggeleng. Ponsel saja dia tidak punya. "Nggak, bu."
Bu Guru menghela napas. "Harusnya ibu kasih raport ini langsung ke orangtua kamu karena ada yang harus dibicarakan. Dari kelas 1 ibu kamu nggak pernah dateng, Jinan."

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...