Pagi-pagi sekali Jinan sudah bangun. Gadis itu menguap lebar, lalu segera berlari kecil menuju kamar Alaska, tapi yang ia dapati hanya kosong. Suara-suara di dapur mengalihkan Jinan membuatnya segera ke sana. Alaska sedang memotong-motong sesuatu di kitchen island seraya membelakanginya. Cowok itu tampak segar seperti baru mandi hingga parfum bercampur sabun menguarkan aroma nyaman di dapur.
"Kok udah bangun, Al?" Jinan mendekat.
Alaska menghentikan kegiatannya sejenak, menoleh pada Jinan. Memperhatikan gadis itu. "Kenapa nggak tidur?"
Jinan tersentak seraya memegang matanya. "Eh, keliatan banget, ya? Gue nggak bisa tidur. Punggung gue sakit terus." Ia menghela napas. "Pokoknya pegel-pegel banget, tidurnya gelisah. Cuma dua jam tau gue tidur, mau datengin lo tapi nanti lo capek."
Kasihan sekali. Jinan tampak agak berantakan karen jam tidurnya tidak teratur. "Duduk, gih."
Jinan menggeleng. "Mau bantuin aja, ah. Ni gue harus ngapain?" tanyanya seraya mengawasi bahan-bahan masakan di dapur. Ada dada ayam, tepung-tepungan, dan botol-botol saus, serta rempah-rempah.
"Gaada yang bisa dibantu. Udah, duduk aja."
Jinan menggeleng. "Gue bosen kalo cuma duduk."
"Mandi dah. Bisa mandi, nggak?"
"Tapi harus pelan-pelan." Jinan memundurkan diri. "Gue mandi sebentar. Jangan kemana-mana duluuu nanti."
Alaska hanya menggeleng melihat Jinan yang berlari ke kamar, lalu tersenyum samar. Kadang-kadang tingkah Jinan itu membuatnya gemas dan sebal, tapi juga membuatnya semakin terbiasa. Bagian yang paling Alaska sukai—jika ditanya adalah ketika gadis itu akan excited menunggu masakannya. Pipinya yang menggembung dan cerewet jika mengunyah, apalagi jika itu makanan kesukaannya.
Chicken katsu sudah tertata rapi beserta saus di atas meja. Lagi-lagi Alaska hanya diam dulu memperhatikan Jinan yang mencobai, lalu gadis itu akan memuji seraya menepuk tangan. Tapi beberapa detik, Jinan meringis karena terlalu kencang mengunyah.
"Makanya pelan-pelan."
Jinan merengek kecil. "Brengsek banget si Aldo, makanan enak begini aja susah banget gue kunyah."
Alaska hanya mendekatkan kursi mereka. Mengambil alih piring Jinan dan kembali menyuapi. "Nanti gue buatin bubur aja kalo sakit begini."
"Ah... lo pikir gue nenek-nenek apa?!" Jinan mencibir. "Masih bisa ngunyah tau, kebetulan doang sakit."
"Ya kan biar gak susah nguyahnya."
Selesai makan, Alaska membereskan. Lagi-lagi mencegah Jinan yang mgide ingin ikut cuci piring juga. "Ck, gak usah. Bantu lap meja aja mending."
"Udah, Al. Sini gantian, masa lo mulu, sih."
Alaska lantas mencibir. "Ya lo bisa ngomong gitu kalo tangan lo lagi gak sakit. Kalo luka lagi gue nggak tanggung jawab loh."
"Ihhh, jangan manjain gue coba. Ini mah luka kecil doang, elah." Jinan berdecak. Alaska ini selalu saja melarangnya. Hell, tangannya hanya memar sedikit, bukan cedera.
Lalu perebutan itu berlangsung. Alaska mendengus seraya agak membanting spons cuci piring dengan jengah, lalu meraih pinggang Jinan dan mendudukan di atas kitchen island. Tidak pedulu dengan Jinan yang memekik. "Diem di situ. Awas lo turun."
Bibir Jinan mengerucut lalu menggoyang-goyangkan kakinya. "Alaskaaaaa."
Seolah Alaska tidak mendengar, dia kembali melakukan cuci piring beserta perabotan bekas memasak tadi. Sementara Jinan mendengus sebal tidak dihiraukan Alaska. Pemuda itu tampaknya jengah melihat Jinan keras kepala.
![](https://img.wattpad.com/cover/207812913-288-k360840.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...