Pagi-pagi sekali Jinan sudah bangun dan bersiap dengan pakaian rapi. Dengan kemeja katun dan celana bahan highwaist yang sangat pas di tubuh semampainya. Padahal masih jam 7 pagi, tapi gadis itu sudah berada di dapur sejak tadi sedang memanggang roti. Rencananya hari ini adalah sarapan roti bakar bersama Alaska, tapi cowok itu juga belum ada.
Jinan tersenyum semangat, selain karena akan menghabiskan waktu bersama Alaska, dia juga senang membayangkan cowok itu akan memakan sarapan buatannya.
Meski dengan agak tertatih dan kesulitan karena jujur saja, Jinan belum biasa memegang satu tangan karena tangan yang lain memegang tongkat. Tampaknya dia cukup bersemangat karena hal itu. Alaska sudah melakukan banyak hal untuknya, meski mungkin lelaki itu tidak menyadari bahwa perbuatan kecilnya begitu berpengaruh di hidup Jinan. Mungkin dari luar orang-orang melihat Alaska lelaki yang cuek, pemarah, dan tidak sabaran—meski kadang-kadang iya. Tapi sebenarnya, Alaska begitu sabar dan hati-hati. Mengenal Alaska belakangan ini dengan cukup intens, membuatnya sedikit-sedikit mengerti tentang cowok itu.
Jinan meringis kecil ketika lengan dekat pergelangan tangannya menyentuh wajan yang panas sekali. Ia mematikan kompor dan meniup-niup kecil tangannya untuk menghilangkan rasa panas yang percuma. Kulitnya sudah telanjur memerah. Ia menggigit bibir kecil, lalu mengibas-ibaskan tangan.
Kompor kembali dinyalakan dan dengan hati-hati ia memanggang roti selanjutnya. Huft ... untuk mood-nya sedang baik pagi ini, kalo tidak mungkin dia akan kesal dan berhenti. Potongan-potongan roti itu selesai disajikan ke atas piring tepat ketika Alasa masuk melalui ruang tamu dan sampai di dapur.
"Alaska!" seru Jinan. "Ayo kita sarapan!"
Alaska memandangi dua piring roti panggang telur dan daging, dua gelas susu, lalu wajan yang di atas kompor, terakhir pada Jinan yang tersenyum lebar menunggunya. "Lo masak?"
Jinan nyengir. "Cuma roti..."
Alaska mendekat. "Kan gue bilang jangan aneh-aneh, nanti kalo ada apa-apa gimana?"
"Gue gapapa, Al. Kan cuma masak roti gini doang? Sekalian biar dilatih terus kaki gue."
Alaska menghela napas. "Masalahnya kita belum kontrol. Kalo terjadi sesuatu sama kaki lo, nanti repot. "
Jinan tertawa kecil. "Nggak bakal kok, gue oke banget. Sini, ayoo."
Alaska mau tidak mau, menurut untuk duduk di meja makan dan mengambil tempat di hadapan Jinan. Gadis itu tampak riang dan menyuruhnya mencoba, meski Alaska masih tidak tertarik buat sarapan. Melihat gadis itu antusias, Alaska meraih dan menggigit kecil.
"Gimanaaa? Enak kann?" tanya Jinan menunggu reaksinya.
Alaska mengangguk kecil. Membuat Jinan makin antusias dan ikut memakan sarapannya. Melihat gadis itu riang, rasanya berbanding terbalik dengan waktu gadis itu menangis-nangis di pelukannya. Berbanding terbalik juga dengan sikap kikuknya dulu. Jinan lebih suka menunduk dan menghalau sebagian wajahnya dengan rambut. Tapi sekarang, di hadapannya Jinan bahkan tidak segan menunjukan sikap manja.
Mungkin karena hal itu tidak pernah dia dapatkan ketika masih kecil, dan kebetulan Alaska bisa memperlakukannya seperti anak kecil. Jinan merasa begitu dijaga, dilindungi, dan percaya bahwa Alaska adalah salah satu orang yang tidak mungkin akan menyakitinya. Alaska menunduk memandangi roti daging itu.
Merapalkan dalam hati, jika yang dilakukannya selama ini untuk Jinan hanyalah sebatas peduli. Dia peduli kepada Jinan karena tidak ada siapa pun di sisinya, sama seperti Alaska yang peduli pada Key—keponakannya. Berada di antara dua orang ini menjadikan Alaska sebagai laki-laki yang bisa melindungi.
Meski di satu sisi lain, Alaska sering mengumpat dalam hati ketika Jinan menunjukan sisi ke-perempuanannya. Sikap manja dengan senyuman yang dibuat manis, sikapnya yang kadang mengandalkan Alaska, atau sentuhan secara langsung yang gadis itu berikan. Jinan secara sadar atau tidak sadar kadang ingin mendobrak batas yang Alaska bangun tinggi-tinggi. Alaska ... cukup kewalahan menghadapi itu semua.

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...