09.

85 17 9
                                    

..

Mungkin rasanya hampir sama seperti bertahun-tahun lalu. Ketika dirinya hanya bisa diam tanpa punya kuasa untuk melawan, namun diam-diam memupuk emosi jauh di dalam dada. Siapa yang tau, jika emosi yang kian membengkak karena terus diberi makan, bagian terburuknya adalah bisa melahirkan dendam.

Seperti kulitnya yang membiru atau sekujur tubuh yang penuh memar sampai ia sulit membedakan bagian mana yang lebih sakit. Tapi jauh dari semua itu, tidak ada yang mengalahkan rasa nyeri di tubuhnya dengan rasa nyeri di dada.

Pagi itu ia lewati seperti biasa. Memoles bagian bawah tulang pipinya dengan sedikit bedak. Untung, luka di wajah tidak sebanyak luka di tubuh yang masih sanggup ditutupi. Jinan mengerahkan tenaganya yang serasa remuk itu untuk menuju kelas meski rasa-rasanya dia tidak ingin masuk dalam keadaan begini. Namun akan lebih buruk lagi jika dia di rumah dan kembali dijadikan samsak.

"Astaga ke mana ajaa dari kemaren, Nan!!!"

Jinan meringis malu ketika Neli duduk menegak di kursi. Gadis itu mendekat dan duduk di sebelah Neli. Membiarkan Neli mencercanya dengan berbagai pertanyaan aneh.

"Tumben banget lo tiba-tiba bolos nggak ada sebab. Gue telpon nomor lo gak aktif, sosmed lo juga sama. Ke mana sih lo bolos diem-diem doang?! 'Kan bisa ajak gue?!"

"Itu—

"Tau gak sih gue sampe nanyain TU tapi cuma ada alamat rumah lo yang lama. Hampir aja gue nanya ke Karel."

Mata Jinan sontak membulat kaget. "Nel—

"Candaaaa, elah. Nggak kali," Neli terbahak membuat Jinan mendengus sebal. Sebelum tawanya mereda. "Bentar deh. Muka lo kok... aneh gini, Nan?" Mata Neli mengawasi tajam pada pipi Jinan yang sedikit lebih bengkak dan lebam yang masih sangat kentara.
"Lo abis ngapain, Nann?"

Tetap ketahuan. Jinan meringis, memikirkan jawaban yang tepat. Tidak mungkin juga 'kan dia bilang luka ini karena ibunya sendiri?

"Nggak kenapa-napa. Cuma kemarin kepleset trus jatoh jadinya begini, makanya gue nggak masuk kemaren," jelasnya dengan tenang. Jemarinya mengusap pipi. "Emangnya ... masih keliatan banget, ya?"

Neli mengangguk ngeri. "Lo nggak bohong 'kan, Nan? Ini kayak abis dipukulin, lho." Gadis itu meminta penjelasan berarti. "Jujur, deh. Abis ngapain lo? Kelahi yang sama preman?"

"Dih, apaan sih. Ini jatoh, ngapain boong sama lo." Neli berdecak mendengarnya. "Ada berita apa gitu, nggak kemarin?"

Neli langsung menegak antusias. "Jiiii, udah tau belom, sih?" Gadis itu menepuk meja. "Karel kayaknya... pacaran deh sama Serena. Kemaren gue liat mereka pulang bareng, yaa emang sih sebelumnya juga gitu. Tapi mereka juga ngantin bareng, pokoknya udah kayak couple gitu lah ..."

Gerakan Jinan melambat ketika ia hampir mengambil buku tulisnya dari tas. Sementara ia masih bertahan di posisi membelakangi Neli, suara temannya itu terus menggangu telinganya. Tentang Karel dan Serena.

Gadis itu memejamkan mata pelan.

Tidak boleh. Apapun yang muncul di hatinya sekarang—entah itu cemburu, atau sakit, dia harus menahan itu semua. Dia sudah selesai. Mereka. Lagipula, harusnya ia tidak begitu kaget dengan kedekatan mereka.

".... gue rasa paling Serena cuma manfaatin Karel doang." Kata-kata Neli yang terakhir mengundang sahutan dari Jinan.

"Ya kali, Nel. Untuk apaan juga orang sama-sama populer gitu." Jinan tiba-tiba terdiam. "Udahlah ngapain bahas Karel."

Neli cemberut. Merogoh isi tasnya ubtuk mengambil make-up di tasnya. "Sini, deh, muka lo gue permak dulu."

"Hah? Mau ... ngapain lo?" Jinan menatap ngeri pada benda-benda aneh di tangan Neli.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang