Alaska mengelus kepala Key yang terbaring lemas di atas brangkar. Gadis kecil yang biasanya suka tertawa itu justru berbanding terbalik dengan wajah tanpa ekspresinya dengan mata tertutup. Gio benar-benar tidak memiliki hati karena ketika ia dan Jinan sampai, pria itu tidak ada. Bahkan ketika hanya untuk menjaga Key saja tidak becus.
Pintu ruangan VVIP terbuka dengan Jinan yang muncul dari sana. Tatapan matanya kikuk, melirik pada Key lalu menutup pintu perlahan-lahan. Seolah takut Key akan terbangun.
"Udah?"
Jinan kali ini menatap Alaska. Gadis itu melirik bagian siku atasnya yang baru saja diambil darah. "Udah kok."
Rasanya, baru kali ini juga Jinan melihat Alaska marah tapi mencoba untuk menahan. Laki-laki itu benar-benar marah dan takut dalam satu waktu, tapi berusaha ditutup-tutupi. Entah karena apa tapi jinan juga takut akan bertanya.
"Lo nggak apa-apa?" Alaska bertanya seraya menatap plester di tangan yang Jinan pegangin. "Sini, duduk."
Jinan menurut, mengambil duduk di sebelah Alaska. "Nggak apa-apa, soalnya gue dapet ini." Tangannya menunjukan sekotak susu kacang ijo, biskuit, dan roti!!!" Tawa senangnya meluncur. "Thanks udah bawa ke sini karena gue pengen jajan!"
Alaska hanya menanggapi dengan senyum kecil. "Istirahat. Abis itu kita makan."
Jinan menyurutkan senyum lebarnya saat Alaska bangkit berdiri meraih ponsel yang berdering di meja. Terlihat Alaska agak menjauh ke jendela besar ketika menerima telepon. Jinan menghela napas, beralih menatap Key.
Baginya, Alaska itu rahasia. Meski kadang ia melihat sisi laki-laki itu, tapi Jinan tahu dia tidak bisa membaca dengan jelas tentang Alaska. Kadang dia ingin mendekat, tapi dinding Alaska terlalu tinggi, terlalu tebal. Ia tidak bisa menebak kapan Alaska akan berbuat sesuatu.
"Habis ini kita keluar, ya. Key bakal ditindak dulu sama dokter."
Jinan tidak mengangguk atau menggeleng, hanya menatap Alaska yang sedang tidak ingin menatapnya balik. Mungkin menghindar.
—
Jinan tidak tahu kalau yang dipilih Alaska untuk keluar adalah rooftop rumah sakit. Laki-laki itu memencet tombol lift lantai 6 tanpa berkata apa-apa, lagi-lagi Jinan juga tidak bertanya. Di lantai 6 hanya berisi ruang rawat inap yang terbagi dari beberapa lorong, kemudian berbelok pada pintu dekat dengan tangga darurat. Pintu itu sedikit terpencil dan agak kecil karena biasanya petugas menaruh barang-barang dan ember cat di rooftop. Tempatnya lapang dan sepertinya jarang dikunjungi. Ada palang pembatas yang sebatas dada Alaska.
Jakarta terlihat jelas mudah ditangkap mata di sini. Kerlap-kerlip lampu dari seluruh penjuru memberi kesan menarik di bawah langit orange-keunguan—sudah nyaris senja. Jalanan yang macet mengular seperti semut karena Jakarta memang selalu ramai.
Tapi di sini, di tempat mereka berdua berdiri, begitu sepi. Mungkin karena Alaska belum juga membuka suaranya. Hari ini, rasanya Jinan sedikit takut membuka suara.
"Habis donor darah, jangan minum soda."
Jinan manyun, mengurungkan niat akan membuka cola. Padahal dia sudah mampir ke kantin karena haus ingin meminum soda. "Iya, iya."
Alaska meliriknya sekilas. "Thanks udah mau bantu Key."
Jinan mengangguk. "Gue seneng bantuin Key. Dia baik dan lucu anaknya." Dia tidak bohong akan hal itu. Mengenal Key beberapa bulan ini, dia rasa mungkin dia ikut menyayangi anak kecil itu.
Mata Jinan mengerjap seraya menggelengkan kepalanya. Rasanya tiba-tiba kepalanya sedikit berat sebelah padahal sudah meminum obat tambah darah barusan. Mungkin reaksinya tidak secepat itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/207812913-288-k360840.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Roman pour AdolescentsHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...