16.

56 8 0
                                    

Ada sekitar lebih dari dua bangku dan meja disusun berderet horizontal, sisanya dibiarkan menyusun melingkar seolah meja tengah adalah pusat. Jendela dibiarkan terbuka lebar membingkai jalanan besar sekitar 600 meter dan jembatan yang malam nanti akan menyala. Bagian dinding sisi kanan dekat ruang kecil dipasangi kain putih memanjang. Sedikit tampak berbeda dari biasanya.

Meski begitu, Jinan tetap melangkah mendekat pada laki-laki yang sedang fokus mengukur panjang tirai putih di atas meja. "Permisi," sapanya.

Laki-laki itu lantas menoleh menghentikan kegiatan awalnya. Memindai Jinan sebentar sebelum membalikan tubuh sepenuhnya. "Ya?"

Jinan tida terlalu mengenal banyak orang dari ekskul desain. Mungkin yang paling ia tahu adalah Alaska, sisanya dia tidak tahu. "Ada Alaska?" tanya Jinan, memperhatikan wajah laki-laki yang berkeringat itu.

Laki-laki itu mengingat-ingat sebentar dengan lengan yang mengusap peluh kecil di sisi pelipis. Jinan tidak mengenal bahkan berbicara dengan cowok satu ini, tapi ia tahu Alaska sering bersamanya. Satu hal lagi, cowok ini adalah wakil ketua di sini. "Kayaknya tadi ke ruang kepala sekolah, ada urusan bentar. Mungkin bentar lagi balik." Pemuda itu menjelaskan. "Tunggu aja di sini."

Sudah lebih dari dua hari Jinan tidak datang ke tempat ini. Setelah pulang sekolah, ia akan menghabiskan waktunya di belakang sekolah sampai maghrib, lalu pulang ke rumah ketika Deline tidak ada. Pikirannya terpecah belah, tapi ketika mengingat Alaska, ia hampir melupakan jika festival akan dilaksanakan lusa.

Jinan menggeleng pelan. "Nggak usah aja. Nanti kalo ada dia, tolong bilangin ya tadi gue nyariin."

Pemuda di depannya mengangguk bingung. "Oke.."

"Nama lo... Zin-eh Zi-

"Zidan." Si Zidan terkekeh kecil. "Nama gue Zidan. Lo nggak inget nama gue?"

Jinan meringis dengan gelengan. "Sorry..tapi makasih, ya."

Zidan tersenyum menyenangkan. Jenis senyum bersahabat yang tidak akan membuat canggung. Sorot matanya tidak seperti Alaska yang tidak bisa dibaca. Alisnya sedikit lebih tebal dari Alaska dan kulitnya sedikit lebih coklat. "Oke, Ji." Zidan berjongkok memukul paku yang dilapisi kain putih memanjang. Sesekali menyugar rambutnya yang sedikit lembab oleh keringat. "Mau pinjem kamera ya?" tanyanya santai.

Alis Jinan terangkat. "Kok tauu?"

"Gue denger waktu lo ngomong sama Cacing Besar Alaska. Kalo lo mau, bisa pinjem kamera gue sekarang ada di tas," ujarnya mengedik pada tas hitam yang disandarkan pada lemari loker. "Keliatannya lo butuh."

"Iya, untuk dokumentasi nanti." Jinan mulai memajukan diri ikut berjongkok. Mengamati perkakas dan papan-papan coklat di lantai. Hidungnya mencium aroma kayu yang habis diamplas, cat minyak yang setengah dibuka-entah untuk apa, dan karton-karton hitam. Dia tidak tahu-menahu mereka sedang membuat apa dan untuk apa. "Tapi kayaknya gue pinjem sama Alaska aja. Lagian gue nggak bisa gunain juga, nggak ngerti."

Zidan terkekeh kecil. Mengukur panjang papan dengan meteran di tangan dan menandai dengan spidol biru. "Nanti kalo dia galak-galak pas ngajarin lo, lapor gue aja ya."

Jinan tertawa kecil, mengangguk pelan. Gadis itu memperhatikan barang berserakan lalu beralih menatap Zidan. "Sebenernya... ini buat apa, Zi?"

Wajah Zidan terlihat kaget ketika pemuda itu mengangkat wajah. "Lah, lo nggak tau?"

Jinan meringis menggeleng.

"Ini..." Zidan mulai menjelaskan. "Bentar lagi 'kan festival. Nanti rencananya ruangan ini mau dipake buat pemotretan anak teater sama modelling. Untuk lomba juga. Makanya deh, harus ngebut banget rekap ruangannya."

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang