"Ayooo, makann! Liat nih perut gue mulai menciut."
Raungan itu terdengar tepat ketika guru Sosiologi keluar dari kelas setelah 'pembantaian' selama 2,5 jam yang sukses membuat perut Neli menciut. Murid di kelas ini jelas langsung mendumel satu sama lain karena Minggu ini seharusnya class meeting dan guru Sosiologi mereka itu malah mengisi kelas dadakan. Tidak cukup dengan ceramah lebih dari satu jam, sang guru Sosiologi yang merangkap sebagai wakil kepala sekolah itu juga melempar pertanyaan-pertanyaan menjebak sampai mereka mati kutu.
"Mie ayam yok, Ji?" Neli menggoyangkan bahu Jinan antusias. Gadis itu sepertinya tertidur.
Jinan menggeleng. "Nggak laper .." gumamnya, menyembunyikan wajah di lipatan tangan.
"Ihhh, jangan gituu... masa gue makan sendirian. Ayo makan dong. Lagi galau ya lo?"
Decakan Jinan membuat Neli menyengir. Jinan mengangkat wajah dengan malas. Matanya terkulai lemah, kulitnya juga terlihat sedikit pucat dan bibirnya—seperti biasa—sedikit kering. Hanya mendengus pasrah saat Neli menarik tangannya.
Niatnya adalah menghabiskan waktu istirahat dengan tidur nyenyak setelah malam panjang yang ia lalui tanpa bisa tertidur. Ketika matahari terbit pun, Jinan baru bisa merasakan kantuk luar biasa tapi tidak mungkin dia menetap di rumah dan membolos.
"Tadi gue liat si Karel."
Jinan ingin membungkam mulut Neli jika sudah menyebutkan nama cowok itu. Tapi jelas ia tidak ingin terlihat defensif. "Trus?"
"Yaaaa, gue liat-liat makin ganteng aja. Kayaknya abis potong rambut," goda Neli dengan senyum ledek sembari menumpahkan kecap di mie ayamnya."Kalo lo yang liat sih bakal gamon."
"Apaan, sih."
Neli terbahak. "Jadi beneran gamon?"
"Ck, ya nggaklah." Jinan mengaduk sambal di baksonya dan mencibir ketika Neli memindahkan sayur-sayuran ke mangkuknya.
Neli memajukan bibirnya sembari mengangguk-angguk. Sekitar mulai ramai karena kelas lain menyusul istirahat dan mulai memenuhi warung bakso ini. Sebagian besarnya adalah kakak kelas yang biasanya membolos atau memang ingin numpang merokok karena jelas warung ini di luar area dalam sekolah.
"Jadi.." Neli mengunyah pelan. "Nggak mau ceritain gue nih apa yang terjadi antara lo sama Serena?"
Jinan menggeleng. "Emang nggak ada apa-apa."
"Keliatannya kalian lagi ngomongin Karel. Ceritaaa dong, pengen tauu. Masa disembunyikan dari gue?" rengek Neli. "Kenapa lo sama temennya Karel?
"Ada lah pokoknya." Jinan menghindar. Malu sekali jika ia mengaku pada Neli ia memberikan cowok itu sedikit hadiah. "Kalo diceritain juga nggak penting."
Menceritakan pada Neli akan membuatnya semakin malu saja menunjukan kebodohannya sendiri. Temannya itu sudah bisa membaca gelagat Jinan yang sering menjauh dari Karel ketika ia bolos ekskul dan berdiam di belakang sekolah. Jika yang satu ini ketahuan, akan membuat Neli menertawainya.
Lagi pula, apa yang ia lakukan juga tidak mungkin terulang. Dia sudah mengerti peringatan yang Serena berikan. Dia mengerti batasan yang terang-terangan gadis itu torehkan.
"Kalo sama gue... inget ya, Nan, jangan bohong-bohongan. Cerita gitu masalah lo. Gue suka bingung kalo tiba-tiba lo linglung—
"Gue nggak pernah linglung."
"—atau tiba-tiba bengkak aja muka lo." Neli memajukan bibir bawah. "Perlu nih gue cariin pacar baru?"
"Nggak perlu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Roman pour AdolescentsHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...