Suara elektromiograf berbunyi setiap detik sekali. Memecah kesunyian di ruang itu. Operasi sudah berjalan lancar. Sudah dua minggu Alaska akan menyempatkan waktunya ke sini setiap pulang sekolah, atau ketika mengisi malam. Tapi Jinan tidak juga bangun.
Kata Mama, operasi berjalan baik meski waktu itu Jinan sangat kritis dan kekurangan darah. Jika saja dia terlambat, Jinan tidak dapat diselamatkan. Bahkan di saat rumah sakit kehabisan stok darah, Alaska tidak dapat melakukan apa-apa selain hanya berusaha mencari ke mana-mana. Mereka nyaris menyerah di saat Jinan tidak memberi reaksi apapun. Pusat sarafnya nyaris tidak berfungsi, dan jika fatal, bisa terjadi kelumpuhan.
Sekarang ketika Jinan sudah melewati itu semua dan berakhir di ruang VVIP ini, Alaska bertanya-tanya bagaimana akhir ini semua. Apakah Jinan akan membuka mata? Apakah jika gadis itu bangun, dia akan baik-baik saja? Dan kapan itu akan terjadi? Apakah di saat dia bangun, hidupnya akan kembali seperti semula? Alaska tidak pernah tahu.
Pria itu hanya memandang wajah Jinan dalam diam. Jika dalam tidur begini, gadis itu akan terlihat tenang, damai, seolah-olah tidak pernah merasakan kejahatan mana pun di dalam hidupnya. Tanpa orang tahu, lukanya ada di mana-mana.
Tangannya terulur memperbaiki rambut Jinan. Rambutnya begitu halus, tapi ketika disisir, beberapa helai rambut tersisa di tangan Alaska. Cowok itu terdiam sebentar. Kemudian meraba rambut Jinan yang ternyata begitu menipis. Alaska tahu pasti ada banyak jambakan yang gadis itu terima. Helaan napasnya berat.
Diam-diam, dia berharap sekali Jinan membuka matanya sekarang, atau menggerakkan jemarinya.
Karena dia begitu takut.
..
"Malem nanti di velo kayak biasa, ya."
Teman-temannya berseru mengiyakan. Karel mengambil air minum lalu menutup loker. Sudah bersiap untuk pulang setelah tadi latihan basket bersama yang lain. Arloji sudah menunjukan pukul 5 sore. Langkah Karel melambat ketika melewati ruang desain. Pintunya terbuka, namun kosong tidak ada siapa-siapa. Gordennya bahkan masih terbuka. Kepala cowok itu melongok ke dalam namun tidak ada suara siapa pun.
"Cari siapa?"
Karel agak terkejut. Ada laki-laki muncul di belakangnya. Tinggi mereka sama. Dan Karel juga tahu cowok itu siapa. Karel menggaruk sedikit tengkuknya. "Ah, eung—
"Jinan?" Alaska menebak.
Karel mengangkat alis. Kenapa juga cowok itu langsung menebak ke sana?
"Dia udah pulang pasti." Karel menebak.
Alaska menggeleng pelan. "Dia emang nggak pernah masuk."
"Kenapa?"
Alaska mengangkat alis. "Dia masuk rumah sakit. Bukannya lo tau?"
Karel terdiam menatap lurus Alaska yang masih memberi tatapan bertanya. Tidak tahu. Dia tidak tahu sama sekali tentang hidup Jinan sekarang. "Rumah sakit? Kapan?"
"Dua minggu lebih yang lalu." Alaska terdiam sebentar. "Jadi lo nggak tau."
"Kenapa bisa... masuk rumah sakit?"
Alis Alaska terangkat diam. Kemudian menghela napas. "Sakit, mungkin?"
"Lo tau sesuatu."
"Apa?"
"Lo tau sesuatu, " ulang Karel. Cowok itu menatap Alaska dengan serius. "Kasih tau gue dia kenapa."
Kali ini Alaska juga ikut menilai cowok ini. "Gue udah bilang sakit, kan?"
Alaska menebak cowok ini tidak tahu apa-apa. Karena jika tahu, cowok ini pasti akan saling berkabar dan mencari Jinan dari kemarin-kemarin di sini. Dan tebakannya yang lain, kemungkinan mereka sudah tidak saling menghubungi. Itu tebakan Alaska.

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...