56

43 0 0
                                    

Hari Minggu.

Biasanya jika bosan, Jinan akan menonton film atau jogging—sebelum kakinya patah—sejauh mungkin. Semenjak tinggal di apart, Jinan menghabiskan waktu menonton film atau menunggu Alaska datang di sore hari dan mereka akan maskeran.

Tapi hari ini, Jinan berada di ruangan yang dibuat Alaska untuk dirinya melukis. Semenjak satu jam yang lalu, dia sudah mengarsir, membentuk blok, lalu pelan-pelan menorehkan warna di kanvas. Jinan menahan senyum setiap menggambar arsiran itu. Rambutnya sengaja dicepol tinggi untuk menghindari cat dan mengenakan kaus putih oblong kesukaannya. Rasanya cukup bahagia Jinan bisa kembali mengerjakan aktivitas kesukaannya sendiri.

Pintu tiba-tiba terbuka. Jinan kaget ketika Alaska berdiri di sana seraya memegang gagang pintu dan memandangnya. Cowok itu bahkan begitu rapi dengan jaket coklat semi-parka dan parfum yang wangi seperti habis mandi.

"Al?" kaget Jinan. "Kok belum berangkat?"

"Bentar lagi ke bandara." Alaska masuk dan mendekat. Sontak saja Jinan meraih kanvasnya dengan cepat dan menyembunyikannya di pelukan, tidak ingin Alaska melihat. "Kenapa?"

"Nggak pa-pa." Jinan menggeleng, menahan senyum.

Alaska langsung menatapnya iseng dan mengulurkan tangan. "Coba liat."

"Ih, nggak boleh. Belum jadi, tau." Jinan memundurkan diri, takut Alaska mendekat.

"Sebentar aja."

"Nggaaak!" Jinan menggeleng-geleng. Sontak saja Alaska tertawa kecil.

"Iya deh." Alaska mengalah. Memindai ruangan itu sebentar dan menatap Jinan lagi. "Kalo gue nggak ada, jangan aneh-aneh ya."

"Aneh gimana tuh maksudnya?" Jinan menukik alis.

"Ya ngapain gitu." Alaska mengedik bahu.

"Iyaaa, Al." Jinan langsung tersenyum simpul. "Gih, sana. Gue mau lanjutin lukisnya. Nanti gue nggak fokus lagi."

Alaska mendengus seraya menahan senyum. "Gaya banget lo." Tak pelak dia tersenyum. "Gue pergi."

Jinan mengangguk. Tangannya melambai. "Hati-hatiii."

Alaska mengangguk, lalu berbalik badan. "Al." Alaska langsung menahan langkahnya saat Jinan memanggil, membuat cowok itu berbalik badan dan menatapnya bertanya.

"Kenapa, Ji?"

Jinan menunduk, seraya menggigit bibir pelan. Makin mengeratkan pelukannya pada kanvas. "Eung... kalo udah sampe boleh kabarin... nggak? Tapi kalo nggak mau juga nggak apa-apa..."

Alaska mengerjap. Jinan menggaruk leher belakang. "Tapi kalo lo—

"Iya, nanti gue kabarin."

Jinan langsung tersenyum. "Okeee."

Alaska berdecak, menahan senyumnya. "Dah. Jangan telat makan. "Jinan baru saja akan mengangguk, langsung tercenung ketika Alaska mengulurkan tangan dan mengacak rambut di puncak kepalanya pelan. "Lain kali diginiin aja rambutnya. Lebih lucu."

Lalu Alaska pergi dari sana. Meninggalkan Jinan yang membeku dan wajah padam luar biasa. Alaska.... benar-benar melakukan itu? Di luar dugaan Jinan sekali. Jinan tanpa sadar menggigit ujung kuasnya sambil memekik salah tingkah, bahkan memeluk lukisannya makin erat.

Alaska itu kenapa tiba-tiba harus membuatnya kalang kabut beginiii? Biasanya dia senang menggoda Alaska, tapi sekarang malah dia yang kepanasan sendiri. Jinan jadi makin semangat menyelesaikan lukisannya. Maka darinitu ia kembali menaruh kanvasnya di atas spanram dan rahangnya hampir jatuh.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang