04. throwback (3)

94 19 10
                                    

-throwback-
(Masa Sebelumnya)

Jinan menapaki jalanan gelap yang hanya diterangi lampu-lampu jalan yang bersisian di pinggir trotoar. Remang lampu sedikit menambah hawa dingin di malam itu kala jam sudah menunjukkan hampir tepat pukul 11 malam.

Karel sudah mengantarnya di tempat Neli tadi karena Jinan bilang ia akan menginap di rumah sahabatnya itu. Neli sendiri sudah memintanya untuk tetap menginap mengingat jam sudah malam, namun Jinan tidak mau.

Tepat ketika ia memasuki pagar rumahnya, Jinan terpaku menatapi mobil Mercedez yang terparkir rapi di halaman minimalisnya. Tangan Jinan terkepal kuat, tahu siapa pemilik mobil ini.

Hal pertama yang menyambut kepulangan ya adalah gelap di ruang tamunya. Dia melangkah berusaha tidak menimbulkan suara sampai tepat di lantai 2.

"Baru pulang?"

Deg.

Jantung Jinan mencelos. Suara memuakkan ini ... dia benar-benar membencinya. Bahkan setelah peristiwa beberapa Minggu yang lalu, ketika dia dilecehkan dengan tidak sepantasnya, pria ini tetap saja berlaku seperti pria baik-baik.

Jinan berhenti tepat di depan pintu kamarnya, membiarkan tangannya menggenggam kuat daun pintu tanpa membalikkan tubuh.

"Kamu jalan sama siapa tadi?"

Pertanyaan itu menimbulkan jawaban paling menyakitkan dalam benaknya. Jinan membenci pria ini, benar-benar membenci.

"Bukan urusan Anda."

Suara Jinan mengalun dengan dingin. Tidak terusik dengan kekehan kecil yang dilontarkan pria bertubuh tinggi yang sanggup membuat ibunya sendiri tunduk.

"Baiklah kalau begitu." Suara pria itu terdengar sangat ramah dan lembut seolah Jinan baru menjawabnya dengan sama. "Saya harap, kamu akan selalu tutup mulut atau-"

"Atau apa?!" Jinan berkilah tajam.

Pria itu terdiam sesaat, tapi Jinan tahu dia sedang mengulas senyum mengerikan. "Kamu harus ingat bahwa kamu masih punya ibu. Wanita yang sekarang di dalam kamarnya, bisa habis kapanpun saya mau." Pria itu berkata dengan tenang namun penuh arti.

Suara kaki melangkah jauh membuat Jinan segera membuka daun pintu dan menutupnya kencang.

Bajingan.

Jinan membenci dia, Jinan membenci ibunya ... semuanya. Sampai rasanya, dirinya tak lagi sanggup membayangkan jika pria di hadapannya tadi akan selalu membuatnya terbayang oleh wajah lembut Karel.

Tidak. Tidak akan ia biarkan pria itu kembali mengambil apa yang menjadi miliknya.

Angin malam lewat dari jendela kamar yang ia buka lebar. Menusuk-nusuk lehernya sampai punggung, membekukan benaknya pada satu putaran. Bagaimana pun caranya, dia akan memperbaiki segalanya. Sebelum semuanya akan terlambat.

"Maafin gue, Karel." Jinan membisiki dirinya di bawah lipatan tangannya. "Lo tau ...gue terlalu sayang sama lo."

..

Mungkin dirinya sering dihadapkan dengan situasi yang terlampau menyakitkan. Sama halnya ketika Coco-anjing kesayangannya yang mati di bawah kakinya yang masih berusia 9 tahun, atau ketika dia harus menggigit bibir sampai berembes darah saat besi menggores punggungnya namun ia dilarang keras untuk menangis. Dia sudah terlalu kebal.

Tapi justru, diam-diam tanpa ia bisa tahu takdir selalu memberinya kotak kejutan. Ketika untuk pertama kali, di lapangan sekolah yang basah setelah hujan berhenti dan Jinan yang kala itu menahan perih di wajahnya, ada seorang pemuda yang mengaku menyukainya. Senyumnya kelewat manis dan lembut.

.niskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang