Ada banyak alasan untuk tidak menolak pesona Karel.
Terlepas dari reputasinya dengan jam terbang di dunia basket yang penuh prestasi, karakter Karel adalah salah satu karakter fiksi banget. Ganteng iya, cerdas iya, manis, humble, dan yang terpenting adalah senyum maut yang bebas ditebarkan pada siapa saja.
Hidupnya terbiasa dengan harus perfeksionis. Dia hidup sebagai laki-laki yang idealis semenjak mengenal dunia basket. Apapun ia lakukan untuk basket selama dia tidak mengikuti jejak sang ayah dalam dunia bisnis. Klise.
Tidak ada yang tahu, bahwa Barata bukan memperalatnya sebagai tangan kedua pemegang segala saham-saham besarnya.
Barata hanya ingin Karel hancur. Ingin dia lebur.
"Brengsek."
Karel tertawa. Jenis tawa paling getir. Barangkali mungkin umpatan itu hampir haram keluar dari mulutnya. Kata-kata yang sangat pantas untuk disematkan pada Barata ; bajingan, penjahat kelamin, berhati dingin, pshyco, dan segala hal yang berbau kebrengsekan.
Tangannya hanya meremas ponselnya dalam diam. Bagaimana matanya memandang pada sebuah foto yang salah satunya adalah Barata.
Yah, tinggal menunggu momentum. Ketika parasit kedendaman menggerogoti organ terdalamnya, merasuki saraf-saraf lalu waktu yang ditunggu akan datang. Lama, namun pasti. Hanya masalah umur dan kekuasaan, bukan?
"Kamu manggil aku?"
Suara gadis itu.
Karel membalikan tubuh dengan wajah yang berubah 180°. Lengkap dengan senyum seperti biasa dan mata penuh kehangatan. Sudah hampir setengah jam ia menunggu gadis ini di lapangan.
"Sorry kelamaan. Tadi masih ada rapat."
Kalimat itu mungkin terdengar abai di telinga. Matanya hanya berlari pada rambut yang terurai sampai helainya menutupi kening dan pipi, wajah kemerahan karena panas, juga dasi yang sudah dilepas. Gadis ini masih sama.
Karel mengangguk pelan. "Kemarin aku chat, kenapa nggak dibales?"
Netranya mengawasi bola mata coklat yang berlarian demi menghindari tatapannya. "O-oh itu ... maaf, soalnya aku nggak buka WA. Kayaknya aku lupa."
Jika bukan karena Bima yang memanggilnya, Jinan pasti tidak akan bertemu dengannya. Kegugupan Jinan bisa ditangkap jelas oleh Karel meski pemuda itu berusaha terlihat tidak terjadi apa-apa.
"Kalo gitu bisa ngobrol?" Karel menunduk sedikit untuk mendapat atensi Jinan. "Sebentar aja."
Jinan meliriknya sedikit seraya berdehem halus. Berusaha tidak langsung menatap mata Karel. Dengan ragu ia mengangguk kecil. "Boleh."
Mereka menepi di pinggir lapangan. Ada bangku panjang yang dilindungi pepohonan agar terhalau dari sinar matahari. Karel terlihat santai, kontras dengan Jinan yang kaku.
Mungkin semenjak beberapa minggu yang lalu, ia berusaha menjaga jarak dengan Karel. Selain karena Serena, ia pikir ada baiknya tidak memupuk harapan lebih banyak. Dia tahu dirinya sangat labil menata hatinya, tapi kadang semuanya tidak semudah yang ia pikir. Tidak semudah yang Serena katakan untuk menjauh.
Termasuk tidak membalas pesan Karel semalam.
"Ada yang mau kamu tanyain?"
Jinan bertanya pelan. Berusaha terlihat santai meski kegugupan melanda dirinya. Gugup bukan karena berbicara dengan Karel, tapi ia sendiri bingung harus bersikap bagaimana.
Karel mengangguk pelan. Gesturnya santai. "Kamu ngejauhin aku?"
Buku-buku jari Jinan agak terkepal. Tidak tahu kalau Karel menyadarinya selama ini. Entah Jinan yang selalu berbalik arah setiap hampir berpapasan, pura-pura tidak melihat padahal berdekatan, atau kadang menolak membalas senyuman ramah Karel.

KAMU SEDANG MEMBACA
.niskala
Teen FictionHidup Jinan adalah sebuah perwujudan niskala. Abstrak. Tanpa tujuan. Penuh ketidakjelasan yang berarti. "Kamu adalah sebuah ilusi yang nyata, namun tak terkejar, tak tercapai, tapi benar adanya." Ketika ia dihadapkan dengan banyak hal, termasuk dua...