7

114 30 0
                                        

Opsir Pieter menghentikan langkah kudanya. Dia turun dari pelana, kemudian melangkahkan kakinya pada kerumunan orang di pinggir jalan.

"Tuan, selamat pagi."

"Selamat pagi."

Orang-orang itu tersenyum. Tidak tahu apakah itu bentuk keramahan atau sekedar berkompromi dengan seorang polisi. Sudah menjadi pendapat umum jika berurusan dengan polisi urusan bisa ruwet.

"Saya mendengar kalian berbincang tentang makam yang dibongkar?"

"Iya, Tuan. Itu makam ayah saya."

"Kau sudah melapor?"

"Sudah, Tuan. Kemarin."

"Saya berharap orang yang tidak bertanggungjawab itu segera ditangkap."

"Ya, tentu saja."

Para pria yang berkerumun itu saling tatap. Kini, mata mereka tertuju pada Opsir Pieter.

"Baiklah, jika kalian mencurigai sesuatu ... atau ... melihat sesuatu ... laporkan pada saya."

"Saya mencurigai jika ini ... untuk ... pesugihan."

"Kalian mempunyai bukti?"

"Tidak, kami hanya menduga."

"Lagipula, siapa orang yang biasa melakukan pesugihan di Batavia?"

"Pedagang." Mereka menjawab dengan serentak.

Opsir Pieter keheranan dengan jawaban serentak orang-orang yang ditanyainya.

"Kami hanya menduga, Tuan."

"Agar dagangan mereka laku?"

"Ya, Tuan."

"Tapi, pedagang di Batavia ini banyak sekali. Kalian mencurigai yang mana?"

"Maaf, Tuan. Saya tidak berani menuduh."

Opsir Pieter kemudian meninggalkan kerumunan. Dia tidak ingin terlalu lama bergosip sepagi itu. Perhatiannya terpusat pada kasus yang sedang dihadapinya.

Di depan matanya, ada sesuatu yang menyita perhatiannya. Bangunan dengan atap genteng berwarna merah. Ornamen khas rumah makan milik orang Cina. Tulisan huruf Cina di dinding. Lampion bergelantungan di depan bangunan. Tapi, bukan itu yang menyita perhatiannya. Justru orang yang ada di dalamnya.

"Selamat pagi." Opsir Pieter menyapa.

"Selamat pagi, Tuan."

Seorang gadis menyambut sembari mempersilakan polisi itu untuk duduk. Gadis dengan baju cheongsam dan rambut diikat ke belakang menawarinya sarapan.

"Tidak, saya tidak ingin makan."

"Minum?"

"Tidak, saya ingin menemuimu. Kamu ... A Ling kan?"

"Ya."

"Duduklah dulu."

A Ling duduk di bangku. Orang-orang di sekitarnya memperhatikan. Diam-diam, mereka menguping perbincangan seorang opsir polisi dengan gadis pelayan itu.

"Apakah kau mencurigai seseorang yang membongkar makam ayahmu?"

"Tidak ada, Tuan."

"Pedagang ... atau ... pemilik rumah makan?"

Majikan A Ling merasa tersindir. Seorang pria paruh baya berbaju changsan pemilik rumah makan itu berhenti mengelap meja, matanya menatap A Ling.

"Tidak mungkin, Tuan. Kami tidak mungkin membongkar makam Sang Ketua."

"Sang Ketua?"

"A Ling, kau belum memberitahu polisi jika ayahmu adalah Sang Ketua Serikat Cina di Batavia?" Pemilik rumah makan itu menampakan wajah marah.

A Ling menggelengkan kepala.

"Tuan, A Ling ini anak almarhum ketua kami."

"Saya baru tahu."

"Dan ... jika ada yang berani membongkar makam ketua kami, berarti sudah menghina kami!"

Para pelanggan rumah makan itu menghentikan suapannya. Mereka sama-sama menatap si opsir. Semua pelanggan yang makan saat itu adalah pria Cina dengan rambut dikepang.

"Jika polisi tidak bisa mengungkap siapa pelakunya, maka kami akan bergerak sendiri!"

Semua orang berdiri. Tanda sebuah perlawanan.

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang