2

180 29 0
                                        

Pagi menjelang, Panca masih sibuk dengan kegiatannya memberi makan domba. Ayahnya, Lurah Bakti kembali mengolah gundukan tanah untuk dijadikan gerabah.

Cahaya matahari yang terang turut menyemangati mereka. Udara pun terasa bersih karena pengaruh air hujan yang turun tadi malam. Terdengar burung-burung bernyanyi menyambut pagi sembari beterbangan ke sana ke mari.

"Ki Lurah! Ki Lurah!"

Panca dan ayahnya kaget dengan teriakan seseorang dari kejauhan.

"Ki Lurah! Ki Lurah!"

Suara teriakan itu kembali terdengar. Namun siapa yang berteriak-teriak tidak terlihat. Sosok suara laki-laki itu belum nampak.

"Ki Lurah ...."

Setelah ditunggu, akhirnya wajah orang itu bisa dikenali. Seorang pria berumur empatpuluhan, datang dengan setengah berlari. Nafasnya terengal-engal kelelahan.

"Hei, ada apa? Sepagi ini kau sudah berteriak-teriak."

"Anu ... Ki Lurah."

Orang itu menampakan wajah kalut. Teriakannya juga mempengaruhi perasaan warga yang lain. Ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya terhenti sementara dan ikut berkumpul demi mengetahui berita yang dibawa oleh pria yang berteriak-teriak itu.

Panca pun ikut penasaran dengan berita yang dibawa. Si pembawa berita terdiam sejenak, asmanya kambuh.

Orang-orang sudah berkumpul dalam waktu singkat. Mereka penasaran dengan apa yang akan dikatakan si pembawa berita.

"Ki Lurah ... makam ... makam ...."

"Makam apa?"

"Makam ...almarhum ... Raden ... Wiguna ...."

"Ada apa dengan makam ayahku?"

"Heehhhh ...." Si pembawa berita malah menarik nafas panjang.

Orang lain menunggu kalimat selanjutnya. Mata si pembawa berita melirik ke orang-orang yang berkumpul dan bertambah banyak. Mereka pun balik menatap.

"Makam almarhum Raden ... Wiguna ... ada yang membongkar ...."

Semua mata terbelalak.

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang