Keributan tidak sempat terjadi. Sang Ketua turun dari lantai atas rumahnya dan berjalan menghampiri Opsir Pieter. Pria paruh baya itu tersenyum kepada sang polisi. Dari wajahnya, dia seakan tidak merasa bersalah jika tadi siang sudah membuat kerusuhan di pinggir kanal.
"Tuan Opsir, maafkan kami atas penyambutannya yang membuat anda risih."
"Tidak apa-apa, Tuan Ketua. Ini hanya masalah kecil."
"Silakan masuk."
Opsir Pieter berjalan masuk ke dalam rumah. Dua orang perempuan membukakan pintu. Di dalam ruangan, telah berkumpul begitu banyak orang. Ada laki-laki dan perempuan dengan pakaian terindah mereka.
"Kami sedang kumpul keluarga." Sang Ketua menjelaskan kenapa orang-orang Cina itu berkumpul di rumah Sang Ketua.
"Mohon maaf jika kedatangan saya mengganggu Tuan dan Nyonya. Tapi, saya harus membicarakan hal penting."
"Malam ini juga?" Seorang tamu bertanya dengan nada suara penuh keheranan.
"Ya ... dan saya ingin kita bicara sebagai saudara bukan sebagai musuh."
Ekspresi wajah orang-orang itu berubah. Awalnya mereka tegang karena didatangi seorang Opsir Polisi.
"Silakan duduk, Tuan." Si empunya rumah mempersilakan Opsir Pieter.
"Di luar, saya datang bersama A Ling dan temannya. Mereka kami bawa serta untuk memperjelas prahara yang akhir-akhir ini membuat Anda semua resah."
"A Ling?"
"Ya, A Ling putri tunggal dari ketua Serikat Orang Cina di Batavia terdahulu."
Orang-orang saling beradu pandang. Mereka berbisik satu sama lain. Keheranan.
Opsir Pieter memberi isyarat kepada pengawalnya untuk membawa serta A Ling beserta Panca dan Bajra. Pengawalnya sudah memahami maksud Opsir Pieter. Mereka bekerja seakan sudah memiliki rencana untuk bertindak.
Ketiga anak remaja itu masuk ke dalam rumah dengan tertunduk. Rumah itu berukuran besar, sangat besar bagi Bajra. Bajra merasakan ketidaknyamanan ketika mendapati rumah itu penuh dengan hiasan nan indah berwarna-warni. Ada guci berukuran besar dengan gambar naga hingga ukiran burung phoenix hampir menutupi dinding. Bagi Bajra, dia seakan masuk ke istana negeri Cina.
"Selamat malam, Tuan dan Nyonya." A Ling menyapa mereka dengan tersenyum.
"Selamat malam, A Ling."
Semua tamu menyambut A Ling dengan senyuman keakraban. Mereka semua sudah mengenal A Ling tetapi 2 anak laki-laki yang menyertainya adalah wajah yang asing bagi mereka.
"Perkenalkan, ini teman saya, Raden Panca dan Bajra."
"Raden?"
"Iya, dia putra dari Raden Bakti, Kepala Desa di Desa Pujasari."
"Dan kau?"
"Eee ... saya tetangga Raden Panca." Bajra menjawab dengan suara terbata.
Semua terdiam untuk sesaat. Tidak ada yang berani memulai kembali percakapan.
"Mereka akan menceritakan pada Anda semua tentang kejadian di desa mereka."
Opsir Pieter mempersilahkan Panca untuk bercerita panjang lebar tentang kejadian yang menimpa makam mendiang kakeknya.
...
Sambil berdiri, Panca bercerita bagaimana makam kakeknya dibongkar oleh orang tidak bertanggungjawab. Dia bercerita lebih detail dibandingkan ceritanya pada Opsir Pieter.
Semua orang menyimak. Tidak terkecuali para pelayan yang sedari tadi hilir mudik melayani para tamu Sang Ketua.
...
Opsir Pieter mulai memperhatikan raut muka orang-orang di hadapannya ketika Panca selesai bercerita. Dia ingin melihat, apakah orang-orang itu percaya atau tidak pada cerita Panca. Bagi petugas polisi itu, pendapat mereka cukup penting untuk melanjutkan pembicaraan.
Dan, Opsir Pieter mengetahuinya ...
"Dia bohong!"
![](https://img.wattpad.com/cover/260070739-288-k905516.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembongkar Makam
Mystery / ThrillerOrang-orang sudah berkumpul dalam waktu singkat. Mereka penasaran dengan apa yang akan dikatakan si pembawa berita. "Ki Lurah ... makam ... makam ...." "Makam apa?" "Makam ...almarhum ... Raden ... Wiguna ...." "Ada apa dengan makam ayahku?" "Heehhh...