19

76 21 0
                                    

Pagi menjelang, matahari bersinar terang. Panca dan Bajra melanjutkan perjalanan menuju Batavia untuk mengirim pesanan gerabah.

Kali ini dia melewati sebuah jalan desa yang becek karena semalam hujan deras. Untung saja, jalanan yang dilalui bukan lagi jalan tanah sebagaimana sebelumnya. Kini jalanan desa lebih nyaman untuk dilalui berkat perbaikan.

Pedati yang ditarik 2 ekor sapi, memang berjalan lamban jika dibandingkan kereta kuda yang beberapa kali menyalip. Tapi, 2 remaja itu menikmati perjalanan dan berharap tidak terjadi apa-apa.

Panca dan Bajra bisa menikmati suara burung yang bernyanyi di antara pepohonan. Matanya memperhatikan hewan-hewan yang berlarian ke sana ke mari. Bahkan, tidak jarang ada seekor musang melintas di tengah jalan dan membuat kaget 2 ekor sapi yang menarik pedati.

"Bajra, apakah kau berpikir jika kita terlalu lambat?" Panca memulai percakapan.

"Ya, saya juga berpikir begitu."

"Andai saja kita menunggang kuda. Sepertinya, kita akan cepat sampai di Batavia."

"Tapi, ada bagusnya juga. Kita bisa mengumpulkan informasi dari desa-desa yang kita lalui."

"Ya, tapi kita pun sulit mengetahui siapa pelaku pembongkar makam itu."

Panca dan Bajra kembali memperhatikan jalanan di depannya. Memang terkesan membosankan bagi anak remaja yang selalu ingin bergerak cepat. Laju pedati ini begitu lamban.

"Coba kita menarik gerabah ini dengan kereta kuda."

"Terlalu beresiko. Kuda itu senang berlari kencang, sedangkan yang kita bawa adalah barang pecah belah."

"Iya juga. Pedati sapi bisa memuat banyak barang dan si sapi lebih berhati-hati."

Panca bersender pada tumpukan barang di belakangnya. Bajra memegang tali kekang sambil berharap si sapi tidak keluar dari jalur.

"Berhenti dulu!"

"Ada apa, Raden?"

"Aku mau buang air kecil."

"Ah, kukira ada apa."

Pedati berhenti berjalan. Kedua remaja itu turun dari bangku dan berjalan beberapa langkah menuju semak-semak. Si sapi diberi rumput yang sudah tersedia di keranjang ditambah rumput yang tumbuh di pinggir jalan.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkan isi kantong kemih yang sudah memaksa. Kedua remaja itu melepaskan sedikit beban dalam tubuhnya.

Panca mengarahkan pandangan ke ujung jalan. Di belokan terakhir yang dilalui sebelumnya, ada sesuatu yang mencurigakan anak itu.

"Bajra, ada yang mengikuti kita."

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang