46

64 18 0
                                    

"Kalian tertidur di sini?"

"Eeh, Tuan. Maaf."

Bajra malu-malu ketika Sang Ketua menghampiri. Dia melihat Panca masih tertidur pulas dengan kepala di atas meja. A Ling sudah bangun dan terlihat membawakan makanan yang diletakan di meja.

"Eee ..." Panca pun terbangun ketika mendengar orang bicara. "Tuan, maaf."

"Tidak apa-apa. Maafkan aku karena tidak bisa menjamu kalian dengan baik. Seharusnya memberikan perlindungan pada kalian, bukannya ketakutan."

Panca, Bajra dan A Ling malu-malu ketika mencicipi hidangan yang dibawa A Ling. Sarapan kali ini, terasa berbeda karena ditemani Sang Ketua _salah satu orang terkaya di Batavia_ di rumahnya yang mewah.

"Tuan, bagaimana keadaan Tuan?"

"Membaik. Hanya luka kecil saja."

"Eee ...."

"Apa, ada yang ingin kau tanyakan?"

"Eee ... bolehkan kami melihat pisaunya?"

"Pisau yang menancap di dadaku? Untuk apa?"

"Dengan melihat pisau itu ... kita bisa tahu siapa pemiliknya?"

"Haha ... kalian anak-anak cerdas yang penasaran."

Sang Ketua terdiam. Menimbang-nimbang apakah akan berbagi informasi ini dengan anak-anak remaja itu atau tidak. Kemudian, dia beranjak dan pergi masuk ke kamarnya.

"Ini." Sang Ketua datang dengan membawa pisau yang digunakan oleh si penjahat tadi malam.

"Wow ... bagus." Bajra berkomentar.

"Sebetulnya, aku tidak mau berbagi informasi ini dengan kalian. Kalian masih terlalu kecil untuk ikut-ikutan masalah sebesar ini."

"Tapi ini ada sangkut pautnya dengan makam ayah saya, Tuan." A Ling menatap Sang Ketua.

"Bisa jadi dengan makam kakek saya, juga."

Sang Ketua hanya tersenyum. Dia meletakan pisau yang dipegangnya di meja. Semua menatap pisau itu antusias.

"Ini dibuat memang untuk dilempar. Pegangannya memiliki cincin yang berfungsi sebagai pemberat." Bajra menduga.

Sang Ketua terkesan dengan pikiran Bajra.

"Hanya dibuat untuk melumpuhkan."

"Ya, ukurannya kecil saja. Tapi, susah dicabut lagi karena ujungnya ... seperti mata panah yang bisa mengoyak daging jika dicabut sembarangan."

"Kalian pintar." Sang Ketua memuji.

"Lalu, kain merah yang dipintal ini fungsinya apa?"

"Hanya pegangan."

"Sepertinya bukan. Boleh dibuka?"

Sang Ketua membuka kain merah yang membalut pegangan pisau itu. Kain itu panjangnya sampai sejengkal. Tapi, bukan itu yang membuatnya istimewa.

 Tapi, bukan itu yang membuatnya istimewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ada tulisannya ...."

"Arab Melayu lagi ...."

"Seperti di surat yang diletakan dekat makam ayah A Ling ...."

Sang Ketua membacakan tulisan itu dengan pelan.

"INI TANAH KAMI, KALIAN TIDAK BERHAK DI SINI."

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang