23

67 21 0
                                    

Ketegangan menyelimuti Panca dan Bajra yang tengah duduk di bangku pedati. Mata mereka saling lirik.

"Hei, kubilang berhenti!"

Suara seorang pria dari atas kuda kembali terdengar, kali ini lebih dekat.

Terpaksa, Panca dan Bajra menghentikan langkah sapi pedati. Kitt, suara berderit terdengar dari pedati yang penuh dengan muatan.

"Iya, Paman. Ada yang bisa kami bantu?"

"Aku ingin bicara dengan kalian."

Pohon-pohon rindang di bahu jalan membuat sekitarnya menjadi lebih gelap. Jika terjadi sesuatu di sana, maka tidak ada seorang pun yang melihatnya. Pria berkuda itu sengaja menyergap Panca dan Bajra di tempat yang sepi. Kebetulan saat itu tidak ada pengguna jalan lain yang melintas.

Pria berpakaian serba hitam  berpenutup wajah itu bicara dari atas punggung kuda. Sorot matanya tajam menatap Panca dan Bajra.

"Membicarakan apa, Paman?"

"Hei dengar, aku peringatkan kalian untuk tidak ikut campur urusan kami!"

"Urusan apa, Paman?"

"Ah, pokoknya kau jangan sok tahu urusan orang lain."

"Saya tidak paham, Paman."

Panca masih kebingungan dengan kalimat yang dilontarkan oleh penunggang kuda itu. Sedangkan Bajra hanya terdiam, ketakutan.

"Kau tidak usah sok tahu urusan orang lain. Atau, kalian akan kubunuh."

Panca kaget dengan ancaman orang itu. Bajra semakin ketakutan.

"Ah, saya benar-benar tidak paham apa yang Paman maksud."

Panca bersikukuh dengan pernyataannya. Wajahnya terkesan tidak acuh pada orang di hadapannya.

"Hei, kau belum mengerti juga?"

Pria itu turun dari kudanya. Dia mendekati Panca. Tangan kanannya memegang sebilah golok yang sudah terikat di pinggang.

"Kalau dengan begini, kau mengerti?"

Wajah Panca terlihat ketakutan ketika  sebilah golok mendekat ke lehernya.

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang