12

84 24 0
                                    

"Tuan, maaf ... kami sudah tutup." A Ling membungkukan badan sambil tersenyum pada Opsir Pieter.

"Tidak, aku tidak ingin makan. Justru aku ingin bicara denganmu."

"Eee ... kalau begitu ... silakan duduk."

Malam itu rumah makan tempat A Ling bekerja akan segera ditutup. Sudah tidak ada lagi pelanggan yang biasa berlama-lama mengobrol di sana. Hanya ada A Ling dan Si Kakek Tua yang sedang membersihkan meja dan bangku dengan lap.

"Saya hanya ingin meminta keterangan tambahan mengenai kasus pembongkaran makam ayahmu."

"Silakan, Tuan."

"Begini, A Ling. Saya sudah memeriksa surat kaleng yang dikirim padamu oleh orang yang tidak dikenal."

"Apakah ada petunjuk ...."

"Belum ada. Tapi, kamu sendiri mencurigai seseorang?"

"Tidak, Tuan. Saya tidak berani mencurigai seseorang."

"A Ling, saya hanya ingin meminta kamu untuk melupakan saja kasus ini."

"Kenapa, Tuan. Ini penghinaan buat saya ... dan buat kami warga Cina."

"Justru itu, aku tidak ingin masalah ini jadi besar. Kau tahu, jika ini masalah bakal menjadi besar karena akan melibatkan orang Cina dengan orang pribumi."

"Maksudnya ... akan terjadi pertikaian?"

"Ya, kau tahu maksud isi surat itu kan?"

"Ya, Tuan. Ini seperti tantangan pada kami."

Opsir Pieter menganggukan kepala.

A Ling menundukan kepala. Gadis itu merenungkan permintaan polisi di hadapannya.

Opsir Pieter kembali mengisap cerutu di tangannya. Asap mengepul keluar dari mulut pria Eropa itu. Tangan kanannya merogoh saku baju seragam berwarna biru yang dikenakannya.

Sebuah kertas digelar di atas meja. Warna kertas itu sudah kusam, tetapi tulisan di atasnya sangat jelas terbaca. Selembar kertas itu adalah surat yang ditemukan A Ling bersamaan dengan pembongkaran makam mendiang ayahnya. Sebuah kalimat ditulis menggunakan huruf Arab tetapi bahasa Melayu yang berbunyi:

PERGI DARI SINI
INI BUKAN TEMPAT KALIAN

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang