Beberapa hari kemudian ...
Opsir Pieter berjalan dengan terburu-buru. Dia masuk ke Balai Kota dengan wajah penuh ekspresi kegembiraan. Dia disambut oleh resepsionis dengan senyuman lebar. Sebuah pagi yang indah bagi seorang polisi.
Pria itu diarahkan untuk langsung berjalan menuju ke ruang kerja Walikota. Dia berjalan diantara sederetan lukisan para Gubernur Jenderal dari masa ke masa yang terpajang rapi di dinding koridor.
"Selamat pagi, Tuan." Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk Opsir Pieter memberi salam.
"Ha, Pieter. Masuklah, duduklah."
Ospsir Pieter menganggukkan kepala sambil tersenyum. Dia duduk di kursi depan meja kerja Sang Walikota.
"Lihatlah, Koran Batavia memberitakan namamu. Kau populer hari ini."
"Hanya sebuah kebetulan."
"Tidak tidak, kau memang cerdas. Aku akui itu."
"Terima kasih, Tuan."
"Pieter, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena kau telah menyelesaikan kasus ini."
"Itu sudah tugas saya, Tuan."
"Tentu saja, tetapi kau tahu ... wajahku bisa tercoreng jika masalah ini terus berlarut-larut. Atau, bahkan menjadi masalah besar."
"Saya hanya tidak ingin kota ini menjadi kacau."
"Ya ya ya aku sepakat dengan itu."
Sang Walikota menganggukan kepala sembari terus membuka lembaran Koran Batavia. Dia membuka halaman depan yang memuat berita para polisi yang membekuk komplotan penjahat.
"Lihatlah! Namamu ditulis di sini. Bahkan namaku tidak ada di sini."
"Saya sudah melihatnya."
"Kau tahu, Gubernur Jenderal senang melihat berita ini."
Opsir Pieter hanya tersenyum. Dia masih bertanya-tanya dalam hatinya, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Walikota sehingga memanggilnya sepagi ini.
"Pieter, aku suka cara kerjamu. Kerjamu rapih."
"Hanya mengikuti prosedur, Tuan."
"Bukan bukan, kau selalu memikirkan banyak hal. Termasuk, citra kita sebagai Pemerintah. Kau pintar dalam hal itu."
"Bukankah sebaiknya begitu?"
"Ya, kewibawaan Pemerintah harus dijaga. Termasuk, urusan dokumentasi dan publikasi. Aku tahu kau yang mengaturnya."
"Hanya kebetulan waktunya tepat."
"Ya ... aku tidak perlu tahu hal-hal yang terlalu teknis. Hal yang terpenting adalah Batavia aman. Tidak ada keributan antar golongan."
"Itu yang terpenting, Tuan."
Walikota kemudian berdiri. Dia berjalan ke dekat jendela. Menatap halaman luas di depan kantornya.
"Sebenarnya aku ingin mempromosikanmu jadi komisaris. Bila perlu kau menggantikanku jadi walikota. Aku sudah tua, sudah waktunya pensiun."
"Ah, Tuan. Terlalu dini buat saya."
"Tapi, itu kan yang kau inginkan?"
"Saya hanya bekerja sebagaimana atasan menugaskan saya."
"Hei, Pieter. Kau penuh ambisi, aku tahu itu. Jauh-jauh kau datang dari Eropa pasti menginginkan hal besar terjadi padamu."
"Bukankah itu impian banyak orang?"
"Tentu saja, Pieter. Aku juga begitu, kuakui itu. Makanya, aku mendukungmu untuk naik pangkat dalam waktu dekat. Anggap saja itu hadiah dariku karena membantuku dalam banyak hal."
"Terima kasih, Tuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembongkar Makam
Mystery / ThrillerOrang-orang sudah berkumpul dalam waktu singkat. Mereka penasaran dengan apa yang akan dikatakan si pembawa berita. "Ki Lurah ... makam ... makam ...." "Makam apa?" "Makam ...almarhum ... Raden ... Wiguna ...." "Ada apa dengan makam ayahku?" "Heehhh...