Panca, Bajra dan A Ling berjalan kaki menuju rumah makan. Pagi itu A Ling harus kembali bekerja. Sedangkan, Panca dan Bajra berencana akan segera pulang dan bermaksud berpamitan.
Mereka bertiga berjalan sambil diiringi oleh kuda yang dibawanya sejak kemarin. Untuk saat ini, kuda itu menjadi milik Panca dan Bajra. Tentu saja sebelum pemiliknya memintanya kembali.
Karena tanggung, kuda itu hanya dituntun saja. Mereka bertiga berjalan menyusuri deretan pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai dagangan. Masih pagi, suasana masih sibuk dengan lalu-lalangnya orang. Juga kuda-kuda dan pedati.
"Hei, kembalikan kudaku!"
Terdengar seseorang bicara dari arah belakang. Panca dan Bajra menoleh ke belakang. Mereka berdua mengenal sosok yang bicara. Masih menggunakan topeng dan pakaian serba hitam.
Gawat!
Tangan orang itu memegang pundak Panca dan Bajra. A Ling sendiri kaget ketika menyaksikan orang itu masih belum mau membuka topengnya. Selembar kain hitam menutupi wajah. Hanya kedua matanya yang masih nampak.
"Eh, Paman." Bajra menoleh ke belakang. Dia tersenyum sebagai bentuk keramahan.
Sedangkan Panca mengerlingkan mata pada A Ling yang berdiri paling depan.
"Kabur!"
Wusshhh! Ketiga remaja itu berlari dengan kencangnya.
"Bocah brengsek!"
Laki-laki bertopeng itu tidak mau tertinggal. Dia berlari dengan kencangnya. Sedangkan si kuda, hanya ditinggalkan begitu saja. Kebingungan.
***
Panca, Bajra dan A Ling tiba di jembatan yang membelah kanal. Mereka melintas dan berpapasan dengan iring-iringan pedati yang membawa banyak hasil bumi.
Mooh!
Seekor sapi gusar ketika melihat anak manusia tidak ada kegiatan yang bermanfaat. Sepagi ini. Padahal si sapi sudah harus menarik beban begitu berat.
Laki-laki bertopeng itu juga telah tiba di jembatan. Matanya memperhatikan sekeliling. Di sepanjang kanal, dia tidak melihat ketiga anak remaja itu.
Dimana bocah tengik itu?
Laki-laki itu kembali meneruskan langkahnya. Kali ini dia berlari ke arah utara. Berharap ketiga remaja itu tidak berlari terlalu jauh dari tempatnya berdiri.
Laki-laki berpakaian serba hitam itu kini tidak tampak. Tubuhnya tenggelam oleh manusia yang lalu-lalang pagi itu.
***
"Ah ... Alhamdulillah. Kita aman, Raden." Bajra meyakinkan Panca dan A Ling.
"Akhirnya." A Ling keluar dari tumpukan rumput yang dibawa pedati.
"A Ling, maafkan kita karena sudah membawa kamu ke urusan ini."
"Tidak apa-apa. Aku tahu, sejak dulu berteman dengan kalian selalu dekat dengan bahaya."
"Hhahh ...." Bajra masih menghirup udara segar.
Mereka bertiga pun keluar dari persembunyian. Tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada si pemilik pedati. Orang itu membalasnya dengan senyuman.
"Aku curiga, dia bagian dari kelompok yang sedang dikejar Opsir Pieter."
"Sepertinya begitu."
"Dan, kita dalam bahaya. Dia tidak akan membiarkan kita hidup. Kita sudah terlalu banyak tahu tentang masalah ini."
"Kita harus bagaimana?"
"Kita pulang dulu mengantar A Ling. Terus kita segera pulang ke Desa Pujasari."
Mereka berjalan dengan langkah gontai. Kelelahan masih menggerayangi ketika sebelumnya diajak berlari cepat.
"Kau belum boleh pulang, bocah gembrot ... hehehehe."
Panca dan A Ling kaget ketika Bajra disekap dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembongkar Makam
Mistero / ThrillerOrang-orang sudah berkumpul dalam waktu singkat. Mereka penasaran dengan apa yang akan dikatakan si pembawa berita. "Ki Lurah ... makam ... makam ...." "Makam apa?" "Makam ...almarhum ... Raden ... Wiguna ...." "Ada apa dengan makam ayahku?" "Heehhh...