64

57 18 0
                                    

Kuda-kuda dipacu dengan kencangnya demi mengejar seseorang yang dicurigai sebagai penjahat. Rimbunnya pepohonan cukup menyulitkan pandangan. Kaki kuda pun kesulitan melangkah diantara akar-akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah.

"Dia bersembunyi di pohon, cari!"

Opsir Pieter jeli memperhatikan gerak orang yang sedang dikejar padahal jarak diantara mereka begitu jauh. Mata komandan polisi itu masih awas apalagi ditambah semangat membara demi mendapatkan buruan.

"Dia berlari ke sana!"

Cipratan air karena kaki kuda  menambah riuh usaha pengejaran itu. Para personil polisi yang terbakar semangat terus memacu tunggangannya walaupun si kuda terlihat kesulitan berlari di tanah yang licin.

Tuk tak ... tuk tak ...

Tempo suara kaki kuda semakin lama semakin pelan. Hewan itu kesulitan melangkahkan kakinya.

"Hati-hati, kita sudah mulai masuk rawa!"

Opsir Pieter mulai menyadari jika tanah yang diinjak si kuda lebih lembek dari sebelumnya. Genangan air terlihat lebih dalam dibandingkan area yang dilewati sebelumnya.

Kuda-kuda pun hanya sanggup berjalan pelan. Mereka enggan berlari demi menuruti ambisi penunggangnya.

Suara air yang jatuh ke genangan air di rawa terdengar lebih keras. Terlihat jelas gelombang akibat kaki-kaki kuda yang masuk ke dalam air. Sesekali terlihat seekor biawak yang sedang menikmati air hujan di atas akar pohon bakau. Dia merasa terganggu dengan kehadiran rombongan orang berkuda. Hewan liar itu pun lari terbirit-birit kemudian menyebur ke air yang berwarna kehitaman.

Gemuruh suara guntur masih terdengar menggelegar. Angin pun masih kencang berhembus. Dedaunan bergoyang dengan sangat kencangnya.  Ini memang bukan waktu yang tepat untuk mengejar segerombolan penjahat.

Opsir Pieter menyadari situasi ini. Apalagi dia tidak berada dalam kondisi fisik yang prima. Sesekali perutnya sakit karena luka akibat sayatan pisau itu terkoyak-koyak oleh gerakan ketika menunggang kuda. Tapi, tentu saja dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan anak buahnya. Ini tentang harga diri seorang polisi berdarah Eropa satu-satunya di dalam pasukan yang dia pimpin.

"Tuan, hati-hati!" Bajra berteriak kepada Opsir Pieter yang tidak jauh sedang duduk di pelana.

"Ya, aku tahu! Kau tidak perlu memberitahuku!"

"Maaf Tuan, saya hanya merasa ... merasa ...."

"Bukan waktunya untuk merasa, Bajra."

"Ini mungkin jebakan, Tuan!"

Opsir Pieter menoleh ke arah Bajra. Matanya terbelalak seakan disadarkan akan sesuatu.

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang