9

100 26 0
                                    

Di rumah makan itu, ada 7 pria Cina yang sedang sarapan. Rambut mereka dikepang dan dibiarkan menjuntai melebihi pinggang. Semuanya berdiri serentak,  rambutnya terlihat bergoyang-goyang.

Braakk!

Meja makan digebrak, lampion di atas langit-langit ikut bergoyang. Angin laut turut berhembus dan masuk melalui pintu yang terbuka. Suasana yang tenang, tiba-tiba berubah.

"Hai! Jaga sikap kalian!"

Anak buah Opsir Pieter tersinggung dengan sikap seorang pria yang terkesan menantang. Pria yang disuruhnya diam malah melotot. Dia berdiri sembari mengambil golok yang tergeletak di meja.

Karena emosi yang memuncak, seorang pria Cina itu malah melangkah maju demi menghadang polisi yang menyuruhnya untuk diam.

"Hei, kau menantangku!"

Polisi itu mengarahkan senapan ke pria Cina yang memegang golok.

"Hentikan langkahmu!"

Pria Cina itu tidak menggubris gertakan si polisi. Si polisi kesal, kakinya melayang ke arah ulu hati orang yang ada di hadapannya.

Opsir Pieter hanya tersenyum kecut melihat kelakuan anakbuahnya. Keributan yang tak terhindarkan malah membuat pria itu senang. Sebagai petugas keamanan, dia ingin menunjukan kewibawaan dan menegaskan jika 3 pria berseragam itu bukan orang sembarangan.

"Ahhh!"

Si penantang terjengkang. Tubuhnya terhuyung ke belakang.

Brrukk!

Punggung pria itu menghantam bangku yang berada tepat di belakangnya. Dia tidak ingin dipermalukan di depan umum. Seketika tubuhnya kembali tegak berdiri.

Mata pria Cina menatap tajam polisi yang menendangnya. Dia menahan diri untuk tidak menyerang balik. Golok masih ada di sarungnya. Senapan polisi yang mengarah padanya membuatnya berpikir seribu kali untuk tidak gegabah.

"Kalian mulai berani melawan kami?"

Opsir Pieter berkata dengan suara pelan. Ketenangan terpancar dari wajahnya. Bagi dia, situasi seperti ini sudah sering dihadapi.

Pria-pria berkulit kuning di hadapannya tidak menjawab. Terdiam.

"Apa mau kalian?"

Mereka yang ditanya hanya saling lirik. Tidak ada yang mewakili bicara.

Dari arah pintu yang menuju dapur, seorang pria tua memberanikan bicara. "Tuan, kami mohon maaf."

Opsir Pieter menganggukan kepala.

"Eee ... kami tidak bermaksud menyinggung, Tuan. Tapi, kami hanya menginginkan masalah ini cepat selesai."

"Kau pikir aku tidak berusaha menyelesaikan masalah ini?"

"Eee ... maksud saya ... kami hanya ingin tahu siapa orang yang berani membongkar makam mendiang ketua kami."

"Kami sedang menyelidikinya, beri kami waktu."

"Kami menduga ... jika ini ... sengaja untuk menghina kami ... Serikat Orang Cina di Batavia."

"Kau punya bukti?"

Semua orang di ruangan itu diam. Begitupun si kakek. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Opsir Pieter.

"Saya punya, Tuan." A Ling memberanikan diri untuk bicara.

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang