66

60 20 0
                                    

Kuda-kuda itu berlari menghindari pertempuran. Mereka sadar jika kematian segera menyambut. Batasnya dengan kehidupan tidak terlalu tebal.

"Kembali ke arah jalan yang tadi kita lalui!" Opsir Pieter berteriak untuk memberikan komando.

Panca benar-benar terjebak dalam sebuah pertempuran yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Anak remaja itu belum terlatih bagaimana menghadapi bahaya ketika kedua kubu saling tembak. Tetapi dia sudah terlatih berhadapan dengan para penjahat yang akan melukai bahkan merenggut nyawanya.

"Panca, kau terus berkuda sampai benteng kota. Bawa dia!" Opsir Pieter memberi perintah ketika anak itu menatapnya.

"Baik, Tuan. Bagaimana dengan Bajra?"

"Sama, kalian berlindung di benteng kota. Jangan ke mana-mana sampai kami sampai di sana!"

Bajra mendengar perintah Opsir Pieter. Personil yang bersamanya menunggang kuda yang sama tahu apa yang dimaksud pimpinannya. Personil itu harus mengamankan diri sendiri dan juga mengamankan saksi.

Kuda-kuda akhirnya bisa berlari lebih kencang. Air yang menggenang di tanah mulai surut. Hujan yang tadinya begitu deras kini perlahan mereda.

Opsir Pieter menarik tali kekang, dia mengarahkan kudanya ke arah kiri demi memisahkan diri dengan regu pembawa saksi dan korban. Anak buahnya yang sudah paham tugas masing-masing mengikuti arahan sang komandan. Kedua regu penunggang kuda itu berpisah di sebuah tanah yang agak lapang.

"Mereka mengikuti kita, Tuan."

"Bagus, itu yang kita harapkan!"

Sosok-sosok itu mulai bermunculan. Mereka memakai baju hitam dan bertopeng serba hitam. Orang-orang itu mulai berani menampakan diri.

Satu per satu sosok hitam itu melayang turun dari pepohonan. Mereka keluar dari persembunyianya.

Jarak mereka tidak terlalu jauh. Sepertinya sosok itu mengambil posisi yang cocok untuk menembak. Sebelumnya, jarak tembak menjadi jauh ketika kuda-kuda tunggangan polisi terus berlari. Dan, sosok-sosok itu mengejar para polisi ...

Nahas, kemunculan mereka seperti sebuah tanda jika mereka merasa memenangkan pertempuran. Mungkin mereka berpikir jika pasukan polisi yang bermaksud meringkus mereka kini malah kabur. Lari terbirit-birit.

Sikap jumawa senantiasa menjadi kelengahan dalam sebuah pertempuran. Kelompok penjahat itu salah sangka. Pertempuran belum berakhir. Kuda-kuda polisi itu berlari bukan untuk menghindari pertempuran.

Kuda-kuda itu membuka ruang untuk sesuatu yang akan datang ...

DOR DOR DOR DOR!

Senapan memuntahkan pelurunya. Tapi, senapan siapa?

Gerombolan penjahat itu kaget. Mereka tidak siap dengan rentetan tembakan yang bertubi-tubi.

Satu ... dua ... tiga ... Satu persatu sosok itu ambruk. Mereka terkena tembakan dari sumber yang tidak terlihat.

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang