Hutan itu hening.
Pohon-pohon tidak lagi menggoyangkan dedaunan yang dibantu angin kencang ketika berhembus. Hujan reda walaupun belum sepenuhnya reda. Rintik-rintik kecil masih terlihat berjatuhan diantara ranting-ranting yang menutupi pandangan ke angkasa.
"Wok wook"!
Hanya suara katak bersahutan menyambut kemurahan alam. Serangga tidak terdengar bernyanyi, apalagi burung-burung masih enggan keluar dari sarangnya.
Kesunyian itu tanda pertempuran telah usai. Suara senapan tidak terdengar meletup.
Opsir Pieter berjalan menghampiri mayat-mayat yang bergelimpangan. Tubuh mereka benar-benar tidak bergerak karena polisi tidak ingin menyisakan nyawa mereka meskipun sekedar untuk bernafas.
Wajah pimpinan polisi itu kemudian mengarah pada 10 orang yang sudah terluka. Ya, hanya tersisa 10 orang. Lebih tepatnya hanya 10 orang yang dibiarkan hidup.
"Kalian yang memulai permainan ini, maka kalian juga yang harus mengakhiri ...."
"Cuih!" orang yang diajak bicara malah meludah pertanda menghina lawan bicara.
Plak!
Opsir Pieter menampar orang itu. Dia sudah kurang ajar di hadapan polisi. Sikap yang sulit untuk dimaafkan.
"Tutup mata mereka! Jangan biarkan mereka melihat dunia. Dasar bajingan!"
Opsir Pieter menendang orang yang sudah tidak berdaya itu sehingga terjungkal. Polisi itu seakan belum puas menyaksikan buruannya sudah terluka. Atau, dia bisa bermurah hati pada tawanan yang tidak mau menyerah.
"Sejujurnya, aku ingin membunuh kalian semua. Tapi sepertinya pengadilan lebih membutuhkan kalian."
Opsir Pieter berjalan ke arah sesosok tubuh yang terlentang di atas tanah. Dia menyentuh kepala orang itu dengan sepatunya.
"Dia benar-benar sudah mati?"
"Ya, Tuan. Kami sudah memeriksanya."
Dor!
Opsir Pieter menembak kepala orang itu dari jarak dekat. Senyum sinis tersungging dari bibirnya sembari melihat dengan tatapan nanar.
"Hanya memastikan dia tidak bangkit lagi."
Personil polisi lainnya hanya mengelengkan kepala. Mereka tidak bisa memahami isi pikiran pimpinannya. Ketika kebencian sudah memuncak, orang yang sudah tidak berdaya pun masih dianiaya.
Opsir Pieter menarik nafas dalam. Dia mengarahkan pandangan ke atas. Desiran angin menggoyangkan daun dengan perlahan. Air-air sisa hujan berjatuhan dari daun-daun lebar di atas kepala petugas negara itu.
"Tuan, kami menemukan ini."
Sekonyong-konyong datang seorang personil regu pejalan kaki dengan pakaian yang ditutupi dedaunan. Jika dari jauh, dia akan terlihat seperti pohon yang berjalan. Sebuah teknik klasik untuk kamuflase dalam pertempuran gerilya di tengah hutan.
"Apa? Ada yang lain?"
"Ini, Tuan. Mungkin berguna sebagai barang bukti."
Si polisi datang dengan membawa benda aneh di kedua tangannya. Dengan senapan menggantung di bahu, dia mendatangai Opsir Pieter sambil setengah berlari.
"Apa itu?"
"Sedikit kotor, Tuan. Saya lap dulu."
"Astaga. Kau menemukan itu dimana?"
"Di ceruk pohon besar itu."
"Hanya satu?"
"Ya, mereka sengaja menyembunyikannya."
Opsir Pieter kemudian mengambil benda itu. Dia berjalan mendekati salah satu tawanan.
"Buka penutup matanya!"
"Baik, Tuan."
Opsir Pieter berjongkok. Dia mendekatkan benda yang dipegangnya ke wajah si tawanan.
"Ini apa?"
"Eee ... itu ...."
Seorang personil mengarahkan senapan ke arah kepala si tawanan. Dia sigap tanpa menunggu perintah.
"Itu ... itu ... kepala dari ... pemakaman Desa Pujasari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Pembongkar Makam
Gizem / GerilimOrang-orang sudah berkumpul dalam waktu singkat. Mereka penasaran dengan apa yang akan dikatakan si pembawa berita. "Ki Lurah ... makam ... makam ...." "Makam apa?" "Makam ...almarhum ... Raden ... Wiguna ...." "Ada apa dengan makam ayahku?" "Heehhh...