18

77 21 0
                                    

Opsir Pieter baru saja tiba di kediamannya. Sebuah rumah berdinding tembok bergaya Eropa dengan langit-langit yang tinggi. Lantainya terbuat dari tegel berwarna gelap. Di dalamnya, tidak ada perabotan mewah tetapi hanya terpajang satu set meja tamu dan satu set meja makan.

Malam itu Opsir Pieter merasakan kelelahan yang jarang dialaminya. Setelah membersihkan diri, pria itu duduk di kursi goyang sambil menghangatkan badan di depan perapian. Memang bukan perapian khusus untuk menghangatkan ruangan, karena Batavia bukanlah daerah subtropis yang bersuhu rendah.

Di depan perapian itu, Opsir Pieter merebus air untuk membuat secangkir kopi. Istrinya sudah tidur, sehingga suasana rumah begitu sepi. Apalagi, hujan di luar sana semakin membesar. Cocok untuk tidur lebih awal.

"Tuan, apakah Tuan memerlukan air untuk menyeduh kopi?"

"Tidak usah, aku bisa sendiri. Tidurlah saja."

Opsir Pieter dihampiri seorang bujang laki-laki yang biasa menyiapkan perlengkapannya. Tapi, si bujang itu urung menghampiri dan bermaksud membalikan badan.

"Hei, duduklah di sini!"

"Baik, Tuan."

"Kau sudah mengantuk?"

"Belum, Tuan."

Bujang itu duduk bersila di lantai dan hendak mendengar ucapan Opsir Pieter selanjutnya.

"Kau sudah lama bekerja denganku. Tapi, sebenarnya aku ingin tahu ... bagaimana pendapatmu tentang kami?"

"Maksud Tuan?"

"Maksudku, apakah orang bumiputra membenci kami orang Eropa?"

"Eeee ... saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, Tuan."

"Aku paham, kau takut denganku?"

Bujang itu hanya tertunduk. Dia tidak sanggup menjawab sebuah pertanyaan yang menohok hatinya.

"Aku hanya heran dengan orang-orang di luar sana. Kenapa mereka menginginkan kami pergi dari Batavia. Padahal, kami, orang Eropa sudah membangun banyak hal di sini."

Bujang itu hanya terdiam.

"Mereka tidak tahu terima kasih. Sebenarnya kamilah yang sudah membuat Batavia ini menjadi lebih beradab. Mereka hanya menonton kami."

Bujang itu semakin tidak sanggup memberikan reaksi apa-apa. Dia merasa diceramahi oleh orang tua.

"Bila kalian membenci kami, kenapa tidak kalian bunuhi saja kami. Usir kami dari negeri ini."

"Tuan, saya bersumpah, saya tidak seperti yang Tuan pikirkan."

"Saya hanya ingin kalian hidup damai. Tidak ada pertikaian. Saling bekerjsama yang menguntungkan."

"Saya juga berharap begitu."

Wajah bujang itu seperti ketakutan. Opsir Pieter menyampaikan sindiran keras pada bujangnya sekaligus ancaman agar tidak berbuat macam-macam. Untung saja, cahaya yang temaram dan kulitnya yang gelap tidak menampakan mimik  wajah sebenarnya.

Kursi bergoyang memanjakan orang di atasnya. Angin berhembus lembut dari sela-sela jendela jelusi yang terpasang di semua dinding. Angin itu menerpa perabotan di rumah itu dan tampak sedikit bergoyang.

"Ah ... Aku berharap kau bisa memegang kata-katamu. Karena ... jika aku memergokimu menjadi mata-mata orang Jawa atau orang Banten ... aku sendiri yang akan menggorok lehermu."

"Maaf, Tuan. Saya bukan mata-mata. Saya hanya mencari nafkah di sini."

"Ya, untuk sementara ... aku percaya padamu."

Cerutu kembali dihisap oleh Opsir Pieter.

"Kalau, suatu saat ada pertikaian antara kami, orang Eropa dengan orang bumiputra, kau akan memihak siapa?"

"Eeee ...."

"Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku hanya memperingatkanmu saja. Sepertinya pertikaian itu akan terjadi dalam waktu dekat."

Bujang lelaki itu hanya terdiam.



Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang