30

66 18 0
                                    

Gerbang Batavia sudah di depan mata. Laju kuda yang ditunggangi Panca dan Bajra berangsur berlari pelan. Tali kekang ditarik sang penunggang sebagai perintah untuk mengurangi kecepatan berlari.

Hujan semakin deras. Tubuh mereka basah dan belum sempat menemukan tempat untuk berteduh.

Sore menjelang dan matahari sudah menyembunyikan sinarnya lebih awal. Langit Batavia menjadi lebih gelap meskipun malam belum tiba.

"Hei, berhenti!" seorang polisi penjaga lalu lintas menghentikan langkah kuda.

"Baik, Tuan."

"Kalian mau ke mana?"

"Kami mau bertemu seorang teman."

"Siapa?"

"Haruskah kami memberitahu, Tuan."

"Tentu saja!"

Panca dan Bajra kaget ketika petugas itu membentak mereka. Panca mulai mengamati keadaan. Sepi.

"Kalian tidak boleh masuk ke kota jika tidak punya keperluan mendesak!"

"Maaf, Tuan. Justru kami ingin menemui teman karena urusan mendesak."

"Ah, kalau sekedar kunjungan pertemanan sebaiknya tidak usah dilakukan sekarang."

Panca menengok ke belakang. Dia menatap Bajra. Dan, Bajra mengerenyitkan dahi.

"Baiklah, saya akan menunggu di sini sampai Tuan memperbolehkan kami masuk."

"Tidak usah, kau putar balik saja."

Petugas itu mengarahkan pentungan ke arah Panca. Dia bersikap lebih tegas dari sebelumnya.

"Tapi ... Tuan, maksud kunjungan kami bukan hanya menemui teman ... tetapi bermaksud melaporkan suatu kasus ...."

"Ah, kau mengada-ada!"

"Tidak, Tuan. Ini tentang pembongkaran makam ...."

"Maksudmu?"

"Ya, di desa kami ada pembongkaran makam."

"Ah, kalian bohong."

"Tidak, Tuan."

"Lalu, bocah tengik seperti kalian yang melapor ke ibu kota?"

"Eeee ... karena kepala desa kami sedang menghadapi kegentingan di sana ...."

"Kau semakin terdengar mengarang, Nak."

"Saya bersumpah, demi Alloh."

Petugas itu menatap mata Panca, kemudian Bajra lalu kuda hitam kecokelatan yang ditunggangi mereka.

"Teman saya ini putra Ki Lurah Bakti. Beliau tidak bisa datang langsung ke kotapraja karena urusan di sana juga sangat penting ... lebih tepatnya genting." Bajra akhirnya angkat bicara untuk meyakinkan polisi berbaju biru di hadapannya.

Petugas itu terlihat berpikir. Dia mengacungkan telunjuk. Membalikan badan kemudian berjalan untuk berbicara dengan rekan-rekannya.

Semua polisi yang sedang berjaga mengarahkan pandangan ke 2 remaja yang masih duduk di atas kuda itu. Para polisi itu seakan kaget dengan perkataan temannya.

"Benarkah kau anak Lurah Bakti?" Polisi itu datang kembali ke hadapan Panca dan Bajra.

"Benar, Tuan."

"Baiklah, aku izinkan kau masuk. Tapi, bila kau berbohong ... kau akan berurusan denganku."

"Baik, Tuan."

"O, ya, Siapa nama kalian?"

"Saya Panca dan ini Bajra, teman saya. Tetangga juga."

"Siapa nama teman yang ingin kalian temui?"

"A Ling."

"A Ling?"

"Iya, Tuan. Kenapa Tuan kaget? Ada apa dengan A Ling?"

"Tidak, tidak apa-apa. Dia baik-baik saja."

Panca dan Bajra lega mendengar penjelasan si polisi sekaligus bertanya-tanya kenapa polisi itu kaget mendengar nama A Ling.

"Kalian boleh masuk. Tunjukan ini kepada petugas bila menemui mereka. Awas jangan sampai basah atau hilang."

Polisi itu menyerahkan secarik kertas bertuliskan kata sandi yang sulit dimengerti. Sebagian ditulis dalam bahasa Belanda, Panca tidak mengerti isinya. Segera kertas itu diselipkan ke bawah pelana agar tidak terkena air hujan.

"Terima kasih, Tuan." Panca menendang perut kuda sebagai tanda untuk berjalan.

"Maaf, Tuan. Ada apa di ibu kota. Adakah sesuatu yang genting?" Bajra bertanya setengah berteriak demi menuntaskan rasa penasaran.

"Ada kerusuhan !"

Panca dan Pembongkar MakamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang