72 ; MERCI

31 16 8
                                    

Suara hujan dan petir menggelegar di daerah pemakaman, hingga dari belakang suara seorang wanita menghentikan amarah sang ayah yang masih saja marah dan menangis di pemakaman tersebut. Tak hanya menghentikan, wanita itu juga menahan rasa sakit di perutnya juga.

“Ayah! Cukup Ayah!” teriak Cassea dari belakang yang sudah mengeluarkan air matanya seraya memegang perut dan pinggul nya. Lowray memilih diam tidak menoleh ke arah putrinya.

“Aku mohon, berhenti menyalahkan ibu. Aku mohon..” Ucap Cassea memelas.

“Semuanya adalah salah ibumu, jika bukan karena kebisuannya semua ini tidak akan terjadi.” Sentak Lowray yang menoleh ke arah Cassea dengan marah.

“Semuanya sudah berakhir Ayah. Jadi berhentilah, aku mohon.” Ucap Cassea dengan suara seraknya.

“Apa yang kau bilang berakhir? Apa kau tidak melihat keadaanmu sekarang? Kau dan ibumu sama saja, bagaimana dengan anak yang kau kandung? Dia hanya beban untukmu, bahkan pria yang kau cintai itu tidak ingin bertanggung jawab.” Jelas ayahnya yang sudah tidak bisa mengontrol emosinya lagi.

“Anakku bukan beban Ayah,” Ujar Cassea pelan seraya menggeleng tak setuju. Hatinya begitu sakit ketika ucapan itu keluar dari mulut ayahnya sendiri.

“Jika anak itu lahir, dia akan sama seperti mu dan juga ibumu. Kalian akan menjadi orang yang selalu saja menyusahkan orang lain.” Sentak sekali lagi keluar dari mulut ayahnya. Cassea masih menangis sambil menutup kedua matanya, ia tak menyangka bahwa ayahnya akan mengeluarkan semua yang selama ini ayahnya rasakan dan pendam.

“Tidak.” Gumam Cassea pelan sambil menggeleng.

Cassea yang sudah muak dan lelah dengan semua itu, dia berjalan mengambil sebuah batu besar dan memberikannya ke tangan ayahnya, lalu bersujud di hadapan sang ayah dengan tangisan dan kekesalannya akan semua itu.

“Jika keberadaan ku dan anakku adalah aib bagi Ayah, maka habisi aku dan anakku yang ada didalam kandungan ini Ayah. Sumpah demi anakku, jangan salahkan ibu atas semua ini. Biarkan ibuku tenang disana. Aku mohon— ” Ucap Cassea yang masih saja sujud dan menunduk di hadapan sang ayah, memohon penuh agar tidak lagi mengungkit masa lalu.

Sementara Lowray meraih dan masih membawa batu besar itu di tangannya dengan amarahnya yang luar biasa.

“Habisi aku Ayah. Aku yakin semua akan berakhir setelah kepergian ku! Angkat batu itu dan pukul putrimu ini sekarang juga, habisi aku–” Sentak Cassea dengan suara keras.

Ayahnya menangis dengan sesenggukan, tidak bisa menahan air mata dan amarahnya. Rasanya dia ingin sekali memukul, tapi di depannya adalah Putri satu-satunya yang seharusnya dia lindungi, dia sayangi. Cassea bisa mendengar suara tangis ayahnya. Suara antara marah dan rasa penyesalan, menjadi satu. Kedua orang itu sama-sama menangis dengan kepala yang masih tertunduk.

“Ah.....“ Tiba-tiba Cassea merasa sakit di perutnya. Melihat Anaknya kesakitan, Lowray panik, dan menjatuhkan batu tersebut dari tangannya. Lowray menatap wajah Putrinya yang saat ini benar-benar kesakitan.

“Cassea!”

“Ayahh. Perutku– Haahh.” Teriak Cassea membuat Lowray sedih dengan keadaan putrinya. Dengan segera dia membawa putrinya ke rumah sakit terdekat meski itu harus dengan cara membopong putrinya di usia tuanya.

                                 ***
Paris Hospital.

Di salah satu rumah sakit paris. Cassea melahirkan satu seorang anak perempuan yang cantik, mendengar tangisan keras dari putri mungilnya, membuatnya merasa sangat bahagia dan senang meski tanpa Zach ada di sampingnya saat ini.

Merci [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang