Tangan Cassea begitu lemas dan gemetar. Wanita itu mulai mengeluarkan air matanya sambil menggeleng tidak percaya, menatap kearah tiga teman Zach.
"Itu tidak mungkin. Kemarin kami bertemu! Putriku dan temanku juga melihatnya. Mereka melihat Zach!" balas Cassea mengelak sambil mencoba tersenyum paksa.
"Maafkan aku Cassea, aku tidak ingin menyakiti hatimu! Tapi, jujur. Aku tidak melihat Zach sama sekali." Ucap April yang kini memilih jujur.
Mendengar hal itu, Cassea tidak percaya akan ucapan dari temannya itu. "Meghan!" panggil Cassea dengan suara tinggi dan serak karena menahan tangisnya. Meghan memilih menunduk sambil menangis terseduh.
"Aku tidak percaya ini.." Cassea beranjak dari tempatnya dengan marah, dan masuk kedalam kamarnya. Saat berada didalam kamar, tangisan Cassea mulai sedikit pecah sehingga dia membungkam mulutnya untuk tidak mengeluarkan suara tangisnya. Wanita itu tidak ingin percaya, tapi semua cerita itu terdengar benar.
Di sisi lain. Aami hendak masuk ke kamar Cassea, namun Meghan menghentikan langkah Aami.
"Aku akan bicara dengan mamaku." Ujar Meghan. Aami menurutinya dan membiarkan Meghan masuk.
"Sudah aku katakan, jangan katakan itu kepada Cassea! Kita tunggu waktu yang tepat." Sentak Curtis kepada Aami dan Darrel.
"Sampai kapan? Hm. Sampai Cassea menjadi gila dengan terus berharap bahwa cintanya akan kembali? Suaminya akan kembali? Sahabatnya akan kembali?" sentak balik Aami kepada Curtis. Sementara Darrel berusaha merelai dua temannya yang debat itu.
"Kita akan menjadi orang yang lebih bodoh dari Cassea. Karena ketika kita tahu kebenaran, tapi tetap bungkam." Lanjut wanita berkulit coklat itu. Curtis mengerti dan mencoba santai.
Di dalam kamar.
Meghan melihat mamanya yang duduk di tepi ranjang sambil menangis tertunduk dan menyatukan kesepuluh jarinya seperti orang kebingungan.
Seketika Cassea melihat sebuah tangan yang memberikan buku diary dan secarik kertas putih. Cassea tahu akan sentuhan tangan milik putrinya.
Meghan berjongkok dilantai sambil menatap wajah Cassea yang masih menunduk. Cassea tidak tahu, apa dan kenapa Meghan memberikan buku serta kertas tersebut. Gadis itu masih memegang tangan mamanya yang kini terdapat buku dan kertas. Tangan yang begitu dingin juga gemetar.
"Ini milik ayah! Maafkan aku Ma.., aku sudah tahu semua itu sejak kemarin. Aku melarang tante April untuk tidak memberitahu, Mama— Aku tidak ingin Mama bersedih." Jelas Meghan yang ikut bersalah karena sudah berbohong. Gadis itu juga ikut bersedih.
"Kau percaya ayahmu sudah meninggal?" tanya Cassea. Meghan mengangguk pelan.
"Kenapa kau lakukan itu? Kenapa kau berbohong? Apa Mama pernah mengajarimu berbohong? Kenapa kau percaya bahwa ayahmu sudah meninggal? Dia bahkan belum membuatmu bahagia-," Sentak Cassea sambil menangis. Meghan hanya diam dan ikut menangis ketika Cassea begitu marah dan heran hingga memegang kedua pipi Meghan sambil menatap sendu ke putrinya yang malang itu.
"Maafkan aku!"
"Kenapa kau berbohong, Meghan?" Cassea menangis pecah, sehingga ia menutup kedua matanya dan kembali lebih menundukkan kepalanya serendah mungkin.
"Kenapa?" Tubuhnya gemetar hebat hingga sesak di dadanya seakan menahan paru-paru Cassea.
"Ayahku memang sudah meninggal. Tapi dia tidak lupa dengan putrinya! Lihat, ayah menulis surat di setiap hari ulang tahunku! Aku sudah bahagia!" Jelas Meghan sambil tersenyum dan menunjuk surat-surat tadi. Cassea masih menangis saat melihat putrinya seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merci [END]
Ficción GeneralKisah ini tidak lengkap. Bahkan setelah kematian, kita takkan mengatakan {selamat tinggal}. ________________________ ________________________________________ ________________________ Ini adalah kisah cinta terlarang...