MENGAPA, BANYAK ORANG BEGITU NYAMAN DENGAN KEMISKINAN MEREKA?

77 4 0
                                    

Kemiskan, bagi sebagian besar orang, sangatlah menenangkan. Karena dalam kemiskinan, seseorang tak berpikir terlalu banyak berpikir kecuali sekedar kebutuhan dasar dan menekan rasa iri. Sekedar bekerja seadanya lalu setelah itu kembali ke rumah. Tentunya, ada yang menikmati dengan tenang dan ada juga yang marah-marah dan diliputi perasaan dengki dan tidak terima dengan keadaan hidupnya.

Di masa aku kecil, ada seorang penjual cilok yang selalu lewat depan rumah. Juga beberapa orang lainnya yang berjualan dan melewati jalan yang sama, selama bertahun-tahun.

Dari aku masih sangat kecil, hingga aku sedewasa ini, atau setua ini, ia masih saja berjualan cilok dengan sepeda dan gerobak kecil miliknya. Bertahun-tahun.

Mungkin, sudah lebih dari dua puluh tahun. Ia berjualan dengan cara yang sama. Dengan keterbatasan yang sama. Dan tak ingin banyak keluar dari kenyamanan pekerjaannya yang hanya itu dan itu saja.

Selama dua puluh tahun, ia begitu nyaman dengan kemiskinannya. Dan memilih untuk tetap memeliharanya.

Terasa aneh bukan? Memilih untuk memelihara kemiskinannya sendiri?

Tapi itulah kenyataan. Kenyataan yang dipilih oleh puluhan juta orang di negara ini dan miliaran orang lain di dunia sana.

Menjadi miskin itu mudah. Kamu tak perlu melakukan apa-apa. Dan kemiskinan akan menghampirimu dengan suka cita.

Itulah yang menjadi salah satu alasan, mengapa banyak orang memilih menjadi miskin. Karena menjadi miskin itu begitu sangat mudahnya dan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Karena menjadi kaya, itu butuh berpikir terus-menerus dan bahkan nyaris tak ada waktu untuk tidur. Sedangkan mereka yang begitu nyaman dengan kemiskinannnya. Berhenti berpikir, pasrah, dan tidak ingin mengubah pola kehidupannya.

Mereka sangat senang dengan penderitaan dalam kemiskinan dan tak ingin segera mengubah cara hidupnya dan bagaimana ia agar mendapatkan sumber ekonomi yang lebih baik.

Saat seseorang tak ingin mencari cara untuk keluar dari kemiskinan hidupnya. Maka ia memilih untuk menderita dan menikmatinya.

Ia memadamkan sendiri gairah dalam dirinya untuk maju, bersaing, untuk bekerja keras, untuk tegar dalam kutukan kebosanan, untuk memasuki berbagai cara yang mungkin, dan lebih memilih mundur dan kembali ke sarang kemiskinannya yang begitu nyaman.

Karena aku tahu, begitu sulitnya mempertahankan kekayaan dari pada mempertahankan kemiskinan.

Saat melihat orang-orang yang masih sehat secara fisik. Sehat secara kejiwaan. Juga memiliki dukungan keluarga dan kehangatan cinta kasih sanak saudara. Lebih memilih menjadi miskin dan tetap memelihara kemiskinan hidupnya dan mewariskan pengalaman kemiskinan itu ke anak-anaknya.

Kadang aku berpikir, apakah mereka memiliki hak untuk iri dan marah kepada orang yang lebih kaya, makmur, dan berhasil dari pada dirinya?

Ia sendiri lebih sangat tahu, bahwa menjadi miskin itu tak menyenangkan. Mengapa, tetap memeliharanya dan tak ingin berubah?

Karena pada dasarnya ia sendiri tahu. Dalam hatinya yang terdalam, ia ingin menjadi kaya tanpa banyak usaha. Kaya secara mendadak. Tiba-tiba. Dan akhirnya, terbuai dengan impian yang hanya satu atau dua orang yang tak sengaja bisa melakukannya.

Mungkin, aku perlu bertanya kepada orang miskin yang sangat berbahagia. Kalau memang masih ada orang semacam itu di abad kecemasan semacam ini.

Atau, kenapa, akhir-akhir ini, begitu banyak orang cerdas, terpelajar, dan berpendidikan, begitu sangat nyaman dengan kemiskinan mereka?


ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang