Selain menunjukkan watak apolitis, tulisan ini menunjukkan si penulisnya tidak memahami bagaimana mesin politik dan cara berpikir Orde Baru beroperasi, bahkan di kepala si penulisnya sendiri.
Pertama, tulisan ini tampak jelas mengajak orang untuk melarikan diri dari persoalan-persoalan politik yang ada di sekitarnya (mau aksi 212 yang tidak disepakatinya, korupsi pejabat negara yang merajalela, politik kampus yang dianggapnya tidak sehat, dan seturutnya) dengan melakukan kegiatan yang dianggapnya menyenangkan seperti naik gunung. Kegiatan naik gunung dan keberanian menghadapi persoalan politik yang melibatkan atau terjadi di sekeliling kita adalah dua hal berbeda. Mau lari kemana pun, politik akan memasuki kehidupan privat manusia karena ia adalah bagian dari individu-individu yang akhirnya membentuk masyarakat.
Kedua, ia menggunakan contoh figur pendaki gunung yang justru menjadi pelopor dari depolitisasi para Mapala untuk tidak terlibat pada persoalan-persoalan masyarakatnya. Soe Hok Gie bagi saya adalah salah satu arsitek Orde Baru yang punya kontribusi besar dalam membuat Mapala atau mendaki gunung hanya sebagai unit kegiatan mahasiswa atau kegiatan penyegaran. Ia melepaskan organisasi dan kegiatan ini dari usaha untuk terus menyatukan diri, ajur-ajer, dengan alam, manusia yang tinggal di dalamnya, relasi antara manusia dan alam itu sendiri. Dampak dari cara pandang Soe Hok Gie ini sekarang tampak jelas dari absennya sebagian besar Mapala dan para pendaki gunung ketika proyek industrialisasi negara seperti pendirian pabrik semen dan pembangkit listrik tenaga panas bumi sedang dalam tahap menghancur-leburkan gunung yang mereka puja-puja dan mereka dewa-dewakan sebagai sumber keindahan. Pandangan keindahan gunung dan alam Soe Hok Gie adalah pandangan keindahan yang khas kaum Manikebuis, melepaskan subyek alam dari manusia dan persoalan yang ada di sekitarnya. Gunung Slamet, Gunung Ciremai, Gunung Lawu dan gunung-gunung berapi lainnya di Indonesia sedang dilirik oleh investor energi dengan resiko kehancuran alam yang mengerikan. Sementara si pembikin tulisan ini masih berpikir naik gunung adalah refreshing. Sungguh memalukan!
Karena Pembikin tulisan ini mencomot Soe Hok Gie sebagai eksemplar pendaki gunung ideal secara tidak kritis, akhirnya ia melakukan kekeliruan ketiga, yaitu menjadi operator dari mesin berpikir khas rezim "Orde Baru" dalam analisisnya. Pertama, ia menyebut era kekuasaan Sukarno dengan sebutan "Orde Lama". Penyebutan ini adalah bikinan rezim Orde Baru yang ingin membedakan dirinya dengan era kekuasaan Sukarno. Apa dampaknya? Segala hal yang berasal dari masa-masa sebelum Orde Baru akan dianggap buruk, salah, dan tak usah diikuti. Sinyalemen ini tampak dari cara pandang pembikin tulisan yang mengatakan bahwa politik kampus di era Gie (tahun 1964) dikatakannya tidak sehat. Tidak sehat menurut siapa kalau bukan oleh para arsitek Orde Baru macam Soe Hok Gie itu?! Bila alur berpikirnya demikian, maka ia juga akan bisa mengatakan politik kampus masa sekarang tidak sehat karena dipenuhi kaum pro khilafah dan anti-khilafah. Dalam kehidupan politik, bukankah biasa pro dan kontra, siapa yang sedang didukung dan ditindas penguasa? Politik adalah pertarungan merebut kekuasaan atau mengelola kekuasaan. Kata sehat di dalam tulisan ini tampak jelas mengandung implikasi ideologi tertentu.
Yang menyedihkan, Tirto.id mau memuat tulisan macam begini di saat orang-orang yang kini tinggal di sekitar kaki gunung (Slamet, Lawu, Ciremai, dan lain-lainnya) sedang terancam menghadapi bencana aneka rupa (longsor, banjir, air keruh, dan kurangnya debit air) akibat panas bumi di perut gunung itu akan dijarah pengusaha. Listrik yang dihasilkan akan dipakai oleh aktivitas industrial, sementara masyarakat sekitar gunung kebagian bencananya. Keindahan gunung yang diangan-angankan para pendaki seperti isi tulisan ini hanya menunggu waktu untuk lenyap. Dan tidak ada suara kritis pada pendaki gunung dalam tulisan ini. Yang ada adalah ajakan terselubung untuk menjauh dari politik. Benar-benar tercerabut dari persoalan masyarakat bawah!
Dwi Cipta
TULISAN SAMPAH TENTANG NAIK GUNUNG©
Harusnya gunung menjadi tempat mencari kebahagiaan sambil menjadikannya tempat berefleksi dan belajar, tentu saja tanpa kekerasan ...
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...