AFI DAN KOMENTATOR-KOMENTATOR TOLOL

204 3 1
                                    

AFI? Buruk. Tak baik. Menyedihkan. Dan oh ya, orang semuda itu sudah memiliki watak yang memalukan. Dan yang paling menjengkelkan, semenjak aku jengkel dengan sastra Indonesia, para komentator kebanyakan, yang nyaris aku lihat di mana-mana, kebanyakan hanya komentator sambil lalu. Komentator-komentator yang biasanya banyak yang sangat buruk dari pada baiknya.

Orang menilai Afi terlalu berlebih. Mendukungnya dengan ketololan yang aneh. Dan yang buat aku heran, ya Tuhan kambing, para pembencinya sama tololnya! oh tidak! Indonesia! Indonesia! Ah negara dengan masyarakat menyedihkan memang.

Lihatlah anak itu. Ciri khas Indonesia. Dididik di era internet. Yang suka pujian. Ingin dikenal. Dan seperti seleb lainnya yang aku lihat di media sosial, menggunakan segala cara untuk tujuan memopulerkan dirinya. Afi? Masyarakat Indonesia dengan budayanya yang busuk yang membentuknya menjadi seperti itu. Dia salah tapi juga tidak. Tapi jika berbicara mengenai aspek psikogis individual: dia anak remaja masa sekarang. Generasi Z. Dalam diri Afi aku sudah langsung tahu jika melihat garis besar pribadi dia walau secara kasar. Anak macam apa, yang mengklaim milik orang lain jadi miliknya? Baru jujur ketika ditekan secara keras? Dan nyaris hampir tak punya malu? Lebih mementingkan ketenaran dan nama baik dari pada yang lainnya? Oh anak seremaja itu! Dan pembelaannya yang nyaris tak tahu malu itu! Pembelaan yang benar-benar mengerikan! Kejujuran yang dipoles dengan menghantam orang  lain yang abstrak agar selamat!

Oh Afi! Kau sedang membela Tuhan, Agama, Pancasila, dan negara! Apa kau mengerti? Dan para pembela dan pengkritikmu, oh tidak! Tuhan! Tuhan! Selamatkan aku dari dunia omong kosong ini!

Oh ya Tuhan kambing!

Apa Anda koruptor Pak? Oh ya! Semua orang pernah koruptor kok! Apa Ibu bejat? Oh ya, semua orang bejat kok! Apa saudara menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan? Oh ya! Semua orang juga loh! Dan hai nak, kau membunuh kedua orang tuamu! Ya Tuhan! Siapa yang mengajarimu, mewariskan hal semacam itu? Oh Tuan, apakah tuan bodoh? Masyarakat, negara, hingga Tuhan yang mewariskannya kepada saya! 

Yang boleh berbicara semacam itu hanyalah para nihilis semacam aku dan orang-orang bejat lainnya. Orang-orang yang bertopeng dalam cadar agama, negara, dan sekian banyak nilai yang dianggap baik, tolonglah jangan terus-menerus mengambil lahan kami lagi! Tidakkah begitu? Oh tidak. Dunia terlalu dipenuhi oleh orang-orang sok baik dan sok berperikemanusiaan. Astaga!

Siapa yang membentuknya? Masyarakatnyakah yang mengajari bersikap culas semacam itu? Keluarganyakah yang mengajari ketidakjujuran sejak kecil? Pendidikankah yang membuat dirinya jadi gadis seperti itu? Atau agamanyakah yang membuatnya menjadi pembohong dan tinggi hati? Oh siapa yang membentuk Afi selain dirinya sendiri di antara beberapa kemungkinan yang mungkin? Dan apakah para orang tua memang ditakdirkan akan membela anak-anak mereka mati-matian walau kadang anaknya salah?

Dia calon monster kecil. Seandainya kelak dia ingin jadi ketua mahasiswa, calon walikota, gubernur, menteri, atau jabatan penting lainnya yang harus memakai hak pilih atau suara, aku tak akan memilihnya. Dan tak akan pernah. Sudah terlalu banyak koruptor berpendidikan dan intelektual yang korup di negara ini. Aku tak ingin menambahinya.

Apakah aku terlalu kejam? Oh ya. Aku kejam. Masyarakat kejam. Media-media kejam. Dan kita semua kejam. Setelah Afi makin pudar, apa masyarakat dan media di Indonesia bakal menaikkan gaji dan dana penelitian bagi LIPI dan lainnya dengan begitu drastis? Sekedar di bawah 1 atau 1,5 persen dari APBN tak cukup. Harus di atas 2-5 persen. Apakah kita mau? Oh ya, Jessica yang dikurung dengan bukti-bukti minim dan menyedihkan saja sudah dilupakan begitu cepatnya. Lalu Ahok dengan mudahnya tersingkirkan. Satu belum selesai, satu lainnya dipergunjingkan mirip orang idiot. Dan aku kasihan dengan para peneliti, atlet, para intelektual yang serius, para penulis dan ilmuwan, dan mereka yang bertahun-tahun serius dalam diam ingin membangun negara ini. Mungkin orang-orang baik dan yang sungguh-sungguh mencurahkan hati dan pikirannya kelak harus sering selfie, sering menonjolkan diri, punya banyak pengikut di media sosial, dan beberapa kali harus sangat kontroversial sehingga bakal diperhatikan, diberi dana penelitian, dan oh ya, agar tidak depresi karena penemuan dan inovasinya jalan di tempat karena tak ada yang peduli. Era ilmuwan dan pemikir lugu mungkin harus segera berakhir. Dan Afi?

Dan oh ya, aku hanya sekedar dalam tahap kasian! Dan aku juga sudah muak dengan segala omong kosong kebaikan dan kebaikan! Tidakkah kalian jujur saja bahwa kalian semua pembohong? Ah, itu tak akan mungkin bukan?

Dia sudah 18 tahun. Dewasa muda. Pembaca buku. Bisa berpikir. Berani berpolemik. Tak segan-segan melakukan tindak plagiat dan keberanian yang mengagumkan dalam keculasan yang ditutup-tutupi. Apa aku harus menganggapnya anak kecil lagi? Ketika tangga karir ditapaki layaknya pemain politik profesional. Ya, dia cocok jadi politikus. Dan seperti kebanyakan politikus lainnya, harus berani licik dan sebisa mungkin bercitra baik. Dan oh ya, pandai membela diri sedemikian hebatnya! Oh, jika seandainya Afi tidak digugat berkali-kali apakah dia akan berani jujur dengan sikap dan tindakannya? Sejak kecil berwatak seburuk itu, mau jadi apa ketika menjabat nanti?

Dan watak orang Indonesia yang saling memaafkan memang luar bisa mengagumkan! Bahkan penulis yang diplagiat luar biasa! Aku harap kelak para profesor dan ilmuwan juga berhati besar jika seluruh karyanya diplagiat orang. Dan tentunya, tradisi saling memaafkan yang nyaris tak pada tempatnya, tidakkah adalah rumah bagi para koruptor dan kutu busuk? Asalkan damai, kita semua boleh jadi penjahat bukan?

Dan hanya orang bodoh, tolol, dan keparat tak punya otak yang menganggapnya membela pancasila ketika nilai dasar berupa kejujuran dan sikap bijak saja sudah dia rusak dan tak dianggap penting sejak awal. Apakah Pancasila mengajari hal semacam itu? Jika Pancasila mengajari sikap semacam itu, berserta agama yang dianut, dan norma sosial masyarakat dan keluarga menjadikannya semacam itu. Yah, itulah cerminan Indonesia dalam diri Afi. Cerminan nyaris dari kita semua hari ini. Cerminan omong kosong.

Afi kelak bakal jadi orang kebanyakan. Aku sudah lihat banyak anak muda pintar dan jenius gugur atau berhenti berpikir. Afi hanya akan sampai pada perut kenyang dan kemakmuran pada umumnya. Jika dia jadi orang politik dan cukup penting. Wajahnya tak jauh beda dengan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Nyaris mirip. Masa depannya, ah, aku tak akan memilihnya.

Tapi sebagai anak remaja, yang dibully tak pada tempatnya dan sebagainya, dia layak dilindungi. Aku juga akan ikut melindunginya dan membelanya. Tapi dalam sudut pandang intelektual dan pandangan hidup, aku juga bisa kejam dengan orang yang semacam itu. Tapi kekejamku dengan cara yang lebih aneh. Kekejamanmu adalah dengan menertawakan masyarakat di mana aku dan dirinya hidup.

Lagian, para komentator Afi kebanyakan juga para maling, orang yang biasa kejam, abai, pembohong, egoistik, sedikit punya rasa empati, dan segenap omong kosong lainnya. Mungkin banyak yang tidak terima. Karena aku memiliki semua sifat yang sudah aku sebut itu. Aku cukup tahu hati dan pikiran manusia Indonesia kebanyakan seperti apa. Tak percaya? Oh, mau aku psikoanalisis? Mau aku bongkar sampai dalam sikap sok manusiawinya di depan umum?

Orang-orang Indonesia tak jauh beda seperti diriku ini: seorang bajingan. Apakah aku salah menilai dan melihat kenyataan? Berapa di antaranya yang serius berinovasi dan berpikir dengan sungguh-sungguh kecuali komentar-komentar omong kosong yang membosankan? Siapa yang serius jadi penegak hukum yang baik, pejabat yang tak mau digoda uang dan kekuasaan, dan ilmuwan yang banting tulang demi negara? Jawabnya jelas. Tak banyak. Yang lainnya? Tidakkah sudah aku sebutkan? Sama bajingannya dengan diriku?

Dan Afi? Dia remaja, ya, masih remaja saya, sangat suka dengan pembelaan atau para orang terpelajar bilang, berapologi. Dan jelas, apa yang akan terjadi jika semua orang sejak kecil sudah biasa berapologi dengan basis intelektual dan buku-buku? Mau jadi apa dewasa nanti nak! Kita sama-sama setan pembaca buku loh! Tapi bedanya, aku memang iblis dan kamu dan semua orang yang membela dan mengkritikmu, oh tidak! Iblis-iblis yang menyamar Tuhan dan negara! Ya Tuhan kambing!

Dan orang-orang Indonesia harus bisa dan mulai belajar memiliki otak di kepala mereka. Terlebih segumpal hati yang baik. Afi, nyaris tak memiliki keduanya. Dan oh ya, anak seremaja itu!

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang