Beberapa waktu yang lalu terdengar kemenangan beberapa karya yang telah mendapatkan Kusala 2017. Beberapa hari sebelumnya, aku menulis tentang karya-karya yang masih tetap tak peka dengan sebuah zaman yang sedang bergerak ini. Kemudian, dua hari yang lalu, 27, karena sekarang adalah tanggal 29 Oktober, aku menengok toko buku, dan mulai menilai, seharusnya Kusala jatuh pada novel Sang Raja karya Iksana Banu. Novel itu lebih hidup. Walau pun begitu, entah mengapa, seenak apa pun novel Indonesia, nyaris selalu terjebak dalam kepurbaan, zaman lampau, atau sebuah era, di mana dunia yang jauh di belakang terlalu dikagumi, dieksploitasi, dan budaya-budaya lama dihidupkan kembali seolah kita semua adalah bagian dari mumi-mumi masa lalu saja. Pikiranku kemudian melayang ke Max Lane. Kemudian Pramoedya Ananta Toer. Dan seandainya aku bisa bisa bicara dengan STA dan membicarakan perdebatan besar dalam masa itu yang kini bagaikan masih tak beranjak kemana-mana.
Dalam Indonesia Tidak Hadir Dalam Bumi Manusia, manusia Indonesia harusnya cukup sadar, bahwa kita ini adalah negara paska-kolonial, yang hari ini banyak orang di antara kita anehnya masih menganggap kekuatan dan kehebatan kita nyaris selalu di dalam budaya dan masa lalu. Sedangkan di dalam sastra, orang-orang menenggelamkan diri dalam antropologi level rendah, sosiologi, psikologis bangsa, dan gaya bahasa yang khas. Membentengi diri rapat-rapat dari kemungkinan hal-hal lainnya. Dan sastra membeku menjadi sekedar sisi lain dari para antropolog dan terutama, semua tulisan nyaris baru dianggap sastra hanya saat mereka berada dalam wilayah humaniora.
Apa kriteria sastra? Terlebih sastra Indonesia? Maka, banyak orang akan kebingungan menjawabnya. Sejauh ini, sastra Indonesia masih mengekor budaya lama kinerja para sastrawan Balai Pustaka. Padahal sebelum Balai Pustaka, Barat telah sampai pada orang-orang macam Jules Verne, H.G. Wells, dan yang paling modern di pertengahan abad ke-20, adalah penulis sekaligus ilmuwan Isaac Asimov, yang menulis lebih dari 400 buku dari mulai novel, cerita pendek, astronomi, biologi, kimia, dan kemungkinan kehidupan di berbagai galaksi lainnya.
Di Indonesia, karya Cornelia Funke mungkin bukan sastra. Dan anehnya, buku-buku perjalanan dan semi kisah hidup, malah seringkali menjadi sastra dan memenangkan beberapa lomba. Padahal, banyak kisah perjalanan atau petualangan yang masuk dalam kategori non-fiksi, yang bagi banyak penulis dianggap bukan sastra, jauh lebih mirip novel dan lebih berkesan sastra dari pada sastra yang seringkali kita kenal itu sendiri.
Sejujurnya, sampai hari ini, aku tak tahu dengan pasti kriteria sastra Indonesia itu seperti apa. Tapi yang jelas, di saat orang Amerika, Michael Punke, menulis The Revenant, dan David Grann memberikan The Lost City of Z, dan kita bisa menengoknya ke belakang, dari mulai Abbey, Muir, hingga E.O. Wilson menulis Anthill, kita masih sibuk menulis rokok, kretek, Ramayana, pendekar dan silat, kerajaan-kerajaan, dongeng-dongen berbau mistis atau legenda masa lampau, hantu-hantu semacam harimau, dan banyak hal nyeleneh lainnya dengan gaya bahasa khas orang kita, Indonesia. Gaya bahasa tuturan yang masuk dalam dunia tulis-menulis, yang menyimpan penjara budaya, sistem nilai dan moral, ingatan dan pengalaman, serta banyak hal lainnya, yang orang-orang di dunia ini akan cenderung pusing membacanya.
Sastra Indonesia menjadi asing bagi pembaca asing di luar negeri karena membuat benteng kedap kepala di sekitar mereka. Dan saat ingin menjangkau orang asing atau pembaca luar, hasilnya malah Ayu Utami, yang kini gaya penamaan tokoh nyaris dipakai secara mencolok dan menyedihkan dalam buku barunya Leila S. Chudori. Tapi Ayu Utami dalam Bilangan Fu, jauh lebih menarik dari pada semisal, Pulang, apalagi Semua Ikan di Langit.
Dari segi penamaan tokoh saja, sangat terlalu ingin molek, mooi indie, dan terasa indah; seperti Parang Jati, dll. Dan kebanyakan terjatuh pada periode 65 dan hal-hal antik dan klasik. Bung, kakak-kakak cantik dan jelek, ibu-bapak, saudara-saudara sekalian, kita ini sudah mendekati abad para robot dan penjelajahan luar angkasa dan musnahnya ekosistem sekitar, kok kita ya, gagal move on mulu?
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Aléatoireaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...