Aku bergerak beberapa kilometer dari pusat kota menuju Jalan Nitriprayan, hanya untuk mengenang dunia yang Leo Kristi hadirkan dalam hidupku yang cukup muda. Kematian Leo beberapa waktu yang lalu, membuat aku tak tahu harus melakukan apa. Antara kehilangan dan bingung. Antara rindu dan biasa saja. Segalanya campur aduk.
Para Lkers sejatilah yang mungkin benar-benar kehilangan dan merasa bersedih. Sedang aku? Setelah kehilangan semua album Leo dalam bentuk mp3, dikarenakan alat penyimpanan rusak. Begitu lama aku tak mendengarkan lagu-lagu Leo. Bisa dibilang, aku ingin sedikit berjarak,
dari perasaan kesal akibat kehilangan besar-besaran. Dan baju-baju dari konser Leo yang terakhir, saat di Tasikmalaya dan Jakarta, entah aku taruh di mana. Itu menambah beban tersendiri.Beberapa waktu yang lalu, saat di JBS, tak sengaja aku menemukan sebuah buku kecil berwarna putih dari Kris Budiman, Dari Dee ke Leo Kristi. Aku sedikit tak asing dengan nama Pak Kris di antara Lkers yang aku kenal. Namanya juga tak asing di dunia tulis menulis. Tapi saat aku menengok ke dalam bukunya, membacanya sekilas tulisan-tulisannya mengenai Leo, aku kecewa. 'Buruk,' Itulah yang aku pikirkan. 'Aku bisa menulis lebih bagus dari pada ini mengenai Leo.' Tapi setidaknya, di dalam buku Pak Kris, ada sedikit wawasan musik yang aku dapatkan mengenai Leo. Hanya sedikit.
Aku memasuki Sangkring Art Space milik Putu Sutawijaya. Auranya mirip seperti di Langgeng atau Selasar Sunaryo. Lorong berwarna putih, meja yang diisi para perempuan muda dan kertas tanda tangan. Kursi-kursi. Panggung dan berbagai alat musik. Dan tak sengaja, aku bertemu Pak Narto yang tengah berbincang di sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu, dengan Kakak Leo Kristi: Bonny Imam Idayat.
Aku ikut bergabung, berbincang, dan mengambil beberapa nasi bungkus yang disediakan. Pak Narto dengan janggutnya yang khas, memiliki selera humor yang cukup tinggi. Sedangkan Pak Bonny, yang tengah menua, adalah sosok yang nyaris tak jauh beda dari Leo yang aku kenal. Wajahnya yang hampir mirip dengan sedikit suara yang keluar dari mulutnya. Setidaknya, Pak Bonny masih lebih ekspresif dari pada Leo itu sendiri.
Sayang, tak ada Pak Roman di antara kami.
Lalu datanglah pembukaan. Lukisan-lukisan yang tak seberapa banyaknya terhampar. Suasananya cukup ramai. Aku mengamati satu persatu lukisan yang dibuat oleh Leo, entah kapan, tak ada kejelasan waktu pembuatannya. Aku terpikat dengan beberapa lukisan, yang bagiku cukup indah dan benar-benar aku sukai. Leo ternyata punya kemampuan melukis! Ada di antara lukisannya yang aku anggap lebih bagus dari pada beberapa lukisan yang di pajang di beragam galeri seni yang aku masuki. Melihat Leo menyanyi adalah kesenangan. Melihat sesosok Leo melukis adalah misteri.
Aku berjalan perlahan, kadang tergesa, memandangi beberapa kanvas, menikmatinya, lalu keluar. Gadgetku mati. Aku butuh tempat untuk menyalakannya kembali sebelum acara melagukan nada-nada Leo dimulai. Aku mendapatkannya di tempat pertama aku bertemu Pak Narto dan Pak Bonny. Sambil mencolokkan kabel beraliran listrik ke dalam soket. Aku membaca buku mengenai karya-karya Putu Sutawijaya. Tak lama kemudian pemilik buku datang. 'Lagi baca bukuku ya?,' sambil tersenyum dia memandangiku sekilas, lalu duduk, berbincang dengan para seniman lainnya. Ada Pak Kris juga di depanku. Aku membaca lembar demi lembar. Ada beberapa karya dari Putu Sutawijaya yang aku suka. Beberapa di antaranya sangat filosofis. Kemudian, lagu-lagu Leo Kristi menyeruak dari sisi panggung, tengah dinyanyikan oleh anak-anak kecil berbaju oranye.
Di lain dunia, aku baru ingat dengan Sapardi. Saat aku melihatnya di dunia maya, kerumunan yang hadir begitu besar. Di sini, segalanya jadi terlihat kecil. Tapi, yang aku tahu, setiap acara sastra yang aku temui, nyaris tak memberiku apa-apa. Biasanya malah kekecewaan. Seperti halnya Seno Gumira beberapa waktu yang lalu. Talk Show, sekedar berbincang ringan, dan apa yang bisa didapatkan hanya sekedar berbincang ringan? Dengan waktu yang begitu terbatas. Sangat tak begitu penting dan bisa aku abaikan begitu saja. Aku bahkan bisa mengabaikan Afrizal, Joko Pinurbo, Oddang, Gunawan Tri Adtmojo dan beberapa tokoh lainnya, jika semuanya hanya sekedar berbincang ringan. Mereka semua adalah tokoh. Begitulah sastra. Dan Sapardi, seperti Seno, bak raksasa dengan kerumunan orang yang mengitarinya. Tapi apa yang aku dapatkan dari melihat dan mendengarkan Sapardi, kecuali kebosanan yang pastinya akan sama?
Beruntunglah aku berada di sini. Di tengah orang-orang tua dan berumur. Di mana anak-anak muda merasa tak bergairah dan perlahan meninggalkan tempat di mana para penikmat lagu-lagu Leo Kristi tengah menghayati kenangan mereka. Lagu demi lagu dinyanyikan. Suasana begitu dekat dan hidup. Ada rasa rindu tatkala Leo berada di atas panggung dan dunia menjadi riuh dan gila. Tapi Leo sudah tiada. Lagu-lagu miliknya yang dibawakan di atas panggung, sudah cukup mengobati kerinduan yang begitu aneh, terasa bebas, lepas, meluap-luap, dan bahagia. Aku bisa menepuk tanganku, membebaskan mulutku, dan mengalir menikmati peninggalan-peninggalan Leo yang begitu indah.
Malam ini, beruntung aku berada di kerumunan kecil penikmat lagu-lagu Leo Kristi. Bukan di tengah kerumunan besar Sapardi Djoko Damono. Ada rasa lebih bahagia, haru, dan senang jika dibandingksn dengan tokoh-tokoh sastra yang membuat pikiranku kembali kusut dan sekarat.
Dan sebelum meninggalkan Sangkring, para Lkers menyanyikan Anna Rebana. Konser setelah konser. Sungguh suasana yang begitu indah. Pikiranku seketika berkecamuk, 'Kelak, aku akan membuat buku kecil mengenai Leo.' Ya, aku akan membuatnya. Dengan caraku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...