PERPUSTAKAAN KECIL ANTI SOSIAL

86 3 0
                                    


Ruang kecil ini, aku namakan sebagai Perpustakaan Kecil Anti Sosial. Kenapa penamaannya semacam itu?

Penamaan itu sudah sangat jelas merujuk pada diri sendiri dan egoisme intelektual. Yang menganggap perpustakaan pribadi hari ini, tak lebih dari pada ruang klinis, terapi, hiburan, atau ruang pamer pelepas bosan.

Juga bagi beberapa orang, ruang marah-marah, ruang pelepas frustas, ruang mengejek dan membenci lainnya.

Terlebih bagi para intelektual yang kecewa dan gagal melihat keseharian dunia manusia. Perpustakaan pribadinya, tak lebih dari cerminan dari kegusaran dan kemarahan dalam hidupnya.

Ini juga bagian dari gagasanku mengenai runtuhnya tulisan. Tentunya, bagian dari proses membakar buku-buku sastra dan buku-buku yang banyak orang di dunia menganggapnya penting.

Lebih tepatnya, buku-buku penting yang diabaikan dan tak dianggap.

Maka, perpustakaan kecil ini, menjadi sedikit contoh dari percobaan bahwa sebagus apa pun buku ditulis. Seindah dan seluar biasa apa pun gagasan yang ada di dalamnya. Akhirnya, hanya menjadi pajangan semata. Berderet di rak. Terabaikan. Tak terbaca. Sekedar dibeli. Atau bahkan tak dibicarakan sama sekali.

Buku-buku di ruangan ini hanya untuk hiburan. Terapi pelapas bosan. Dan, mungkin, bagi sebagian besar orang, berguna sebagai benteng kepura-puraan intelektual.

Beberapa waktu yang lalu, aku menghabiskan sekitar 10-20 juta lebih untuk mendapatkan beberapa buku Taschen. Yang indah sebagai pajangan dan dekorasi ruang. Lalu, ada banyak buku lainnya berdatangan. Sangat banyak.

Dua mingguan terakhir ini, aku pun tengah memesan puluhan buku. Yang masih dalam perjalanan ke Indonesia ada sekitar enam belas buku. Sedang yang dibeli dan datang dengan cepat, sudah puluhan lagi.

Seperti tadi malam, ada tambahan buku di ruangan kecil ini, yaitu On Tyranny dan Enemy of All Mankind.

Buku pesanan yang sedang aku nantikan, yang pertengahan atau akhir Desember baru sampai: ada buku Underland dari Robert Macfarlane. Yang tiga buku lainnya, Landmarks, The Old Ways, dan The Wild Places, sudah lebih dulu aku dapatkan.

Robert Macfarlane adalah penulis perjalanan-alam dari Inggris. Yang menjadi salah satu penulis yang aku sukai karena gaya tulisnya sangat puitis dan indah.

Buku-buku dia, di perpustakaan ini, hanya untuk sekedar menemaniku, suatu saat nanti, menikmati perjalanan. Merenung. Tak lebih dari itu.

Buku lainnya yang masih dalam perjalanan, ada buku sangat penting dari Rachel Carson, Silent Spring dan satu buku penting lain miliknya, The Sea Around Us.

Ditambah buku dari penulis alam terkenal dari Inggris, Wildwood dari Roger Deakin. Dan juga, ada edisi indah dari Walden kepunyaan Thoreau.

Sebenarnya aku sendiri sudah membaca habis Silent Spring. Tapi aku mendatangkan Silent Spring versi hardcover, yang jarang orang di Indonesia memiliknya. Ditambah, buku biografinya, On a Farther Shore: The Life and Legacy of Rachel Carson, akan menjadi bacaan yang menyenangkan nantinya saat musim perjalananku dimulai.

Ada buku Gustav Klimt dan Egon Schiele dalam perjalanan kemari. Juga buku yang pastinya jarang orang mau memilikinya, yaitu buku mengenai seniman Inggris, Turner. Beserta buku mengenai sejarah kesenian Inggris: Five Centuries of British Painting: From Holbein to Hodgkin.

Yang jelas, masih banyak buku lainnya. Dan buku lainnya lagi, akan jadi daftar pajangan di ruangan kecil ini.

Buku yang sangat aku inginkan adalah buku-buku Hokusai. Yang awal tahun, mungkin sudah ada di kamar ini.

Banyaknya buku di ruangan ini, dari seni, beberapa sastra sisa, biografi, sejarah ekonomi, bisnis dan karir, pengembangan diri dan psikologi populer, buku-buku alam, ekologi, dan lingkungan hidup. Buku-buku filsafat, sains populer, sejarah, beberapa buku politik, arsitektur, fashion, dan lainnya. Menjadi bagian penting dari gagasan yang ada dalam Perpustakaan Kecil Anti Sosial.

Gagasan mengenai runtuhnya tulisan dan buku-buku yang sekedar sebagai hiburan. Bagi beberapa orang, lebih tepatnya sebagai alibi intelektual semata. Atau, mereka yang terjebak dalam dilema moral intelektual, yang mana pikian dan kenyataan sehari-hari saling bertolak belakang.

Melepas status buku-buku sebagai alat ucap dan alibi pembicaraan akan empati, kemanusiaan, Tuhan, kebenaran, dan lainnya. Lalu menikmatinya tak lebih dari pada hiburan pribadi semata. Sebagai terapi. Atau sebagai cemoohan akan alibi intelektual apa pun yang akhir-akhir ini begitu populer bersandingan dengan menyebarnya hoax dan masyarakat yang mendadak pintar dan merasa benar, tanpa mau mendalami apa pun.

Ah, perpustakaan kecil yang hanya untuk egoisme pribadi semata. Tidakkah itu sebenarnya kenyataan kita hari ini?

Kemungkinan yang paling menarik, sampai sejauh mana para pengkaji filsafat dan filsuf Indonesia masih sibuk berceloteh mengenai tulisan dan buku-buku, di kenyataan abad semacam ini?







ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang