Aku bangun dari tidurku. Suara berisik serangga dan makhluk malam hari masih terdengar memekak di telinga. Udara cukuplah dingin. Mataku mencari-mencari. Dan tangan seketika mengambil sebuah buku berwarna biru dengan gambar seekor monyet yang sedang memegang senjata.Novel O karya Eka Kurniawan.
Aku membolak-balikkan novel itu. Mencari halaman kosong yang masih belum aku corat-coret. Setelah sekian lama membolak-balikkan halamannya. Ternyata begitu susahnya mencari halaman yang bebas dari coretan pensil, yang aku gunakan untuk menandai bagian penting yang tengah aku analisa.
Buku yang tengah aku pegang ini pernah aku sobek dan aku bakar beberapa halamannya. Aku tak membakarnya secara utuh. Sama yang seperti yang ingin aku lakukan pagi ini. Aku ingin membakarnya secara bertahap. Sambil merenungkan betapa buruknya sastra Indonesia hari ini.
Aku merobek tiga halaman yamg agak bebas dari coretan lalu menghambur keluar dengan korek api di tangan kananku, dan tiga robekan halaman O di tangan kiriku.
Di luar, suasana malam begitu sunyi dari manusia. Kegelapan menyelimuti hampir sebagian ruang dan langit begitu tampak indah, berkilauan. Menandakan dunia lain yang hampir hilang dari pandangan mata sehari-hari.
Aku memegang tiga robekkan itu, kemudian mulai menyulutnya dengan korek api di tangan kananku.
Api pun dengan cepat menjalar. Memijar dengan warna merah kekuningan di kegelapan malam yang terasa dekat.
Membakar O, bagiku sendiri adalah sebentuk kekecewaanku terhadap Eka Kurniawan dan sebagian besar sastra Indonesia yang tak menggairahkan. Tapi kenapa harus O?
Bagiku, O adalah anti klimaks yang buruk dari seluruh karya Eka. Seorang laki-laki dengan uang yang cukup di tangan, seorang yang memiliki istri yang juga bisa mendukung, menjadi pendengar, editor, teman diskusi, dan penenang. Memiliki jaringan yang sangat luas dan akses terhadap bacaan dan berbagai pengetahuan internasional serta keadaan yang sudah cukup mapan, yang harusnya bisa dia gunakan untuk menulis jauh lebih ambisius dari pada O.
Bisa aku bilang, Eka sudah berada di posisi yang seharusnya dia bisa menulis jauh lebih baik dan benar-benar berusaha mencari kebaruan tema, isi, maupun bentuk. Tapi dia tak melakukannya.
Novel O tak jauh beda dengan novel-novel dia sebelumnya. Benar-benar nyaris tak ada kemajuan dan keinginan untuk berubah. Bagiku, O adalah novel yang mempertahankan kemandegan dan kemerosotan bagi Eka Kurniawan itu sendiri.
O adalah kekolotan dari sebuah karya sastra. Yang mana, penulisnya bukan lagi orang miskin tanpa akses yang luas, yang mungkin masih kesusahan untuk menulis sesuai keinginannya.
Novel O ditulis oleh penulis mapan, terkenal, dikenal secara internasional, dan akhirnya, tak menghargai itu semua.
Lembaran halaman novel O di tanganku semakin lenyap oleh api yang membara dan terkadang padam. Api itu bagai memakan halaman-halaman yang mungkin telah dengan susah payah dibangun oleh Eka Kurniawan. Aku melihatnya dengan rasa takjub, bahwa buku yang terbakar ternyata begitu sangat indah di kegelapan hari.
Aku meletakkan halaman-halaman itu di atas sebuah batu. Menyulutnya kembali lalu melihat api yang membesar, membakar, mengoyak, dan melalap hangus sampai habis sebuah karya yang dianggap bagus oleh banyak orang.
Aku melihatnya dari awal sampai akhir. Saat api itu membesar, melenyapkan kata-kata yang tercetak di kertas sampai pada momen di mana, keberadaannya lenyap tak membekas di hadapan malam yang cukup dingin. Bagiku sendiri, momen yang aku tengah lihat itu adalah apa yang aku renungkan dan pikirkan mengenai karya-karya Eka itu sendiri.
"Sekali terbakar lalu habis. Mungkin seperti itulah buku-buku Eka Kurniawan. Berpijar hanya sebentar lalu gelap total."
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
De Todoaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...