MEMBAKAR SASTRA INDONESIA

135 3 0
                                    

'Cepat atau lambat ia perlu memutakhirkan diri untuk membeli dan membakar buku-buku dengan kesadaran penuh atas tindak tanduknya,' ujar Pepe Carvalho dalam bukunya Asesinato en el Comite Central (1981), yang aku dapatkan dalam bukunya Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Aku tak banyak bersepakat mengenai beberapa kesimpulan yang berkaitan tentang penghancuran buku-buku seperti yang ditulis Baez. Tapi setidaknya, ada beberapa yang aku sepakati. Terlebih kutipan dari Pepe membuatku benar-benar senang.

Buku-buku yang dibeli, atau kita tulis sendiri, terkadang memang harus dibakar.

Aku membaca beberapa bab dari buku Baez, mencari kalimat-kalimat yang bisa aku renungi dan kemungkinan menggelitik rasa penasaranku sebelum aku membawa tiga buku, O karya Eka Kurniawan, Kambing & Hujan milik Mahfud Ikhwan, dan 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 dari anugrah Pena Kencana, untuk aku sulut dengan api. Atau lebih mudahnya, aku ingin membakarnya.

Aku punya banyak alasan untuk melakukannya. Dan entah kenapa, aku begitu sangat berterimakasih kepada Albert Camus di bagian awal esai panjangnya yang menjadi sebuah buku, Pemberontak. Di tangan para filsuf, semua alasan mungkin dan bisa dibenarkan. Tapi aku sedang tak terlalu ingin banyak pembenaran. Aku hanya cukup jengkel karena banyak buku sastra yang ingin aku jual, bahkan dengan harga luar biasa murah, tak ada siapa pun yang mau membelinya. Bagi banyak orang, buku-buku sastra hari ini tak terlalu penting, jadi karena aku bosan melihatnya di rak kamarku, dan ditawarkan ke siapa pun juga tak laku, tidakkah lebih baik aku membakarnya?

Lagian, seperti yang diakui Baez, dan beberapa banyak orang juga tahu, bahwa 'Perpustakaan (dan penerbit) tiap beberapa waktu sekali menghancurkan buku, dokumen, terbitan berkala, dan majalah." Jadi apa salahnya aku membakar beberapa buku tak berharga ini? Lagian, aku juga sudah tak membutuhkannya. Buku-buku yang sekali habis, tak menumbuhkan minat, dibakar pun yang kecewa kemungkinan besar hanya orang-orang bodoh. Dan aku kan sedang membakar buku-bukuku sendiri, yang aku beli dan miliki? Jadi, jika ada yang protes mengenai buku-buku yang aku miliki, yang terserah ingin aku apakan, hanyalah tindak kekonyolan. Aku mengangguk dengan puas.

Aku membawa keluar tiga buku itu dengan tangan kananku, sambil membawa korek api, dan di tangan kiriku tengah memegang Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.

Aku menatap sampul buku itu, dan berpikir, ah, begitu kurang nyata efek pembakarannya. Karena aku seperempet ilmuwan amatir, cara terbaik untuk mencari tahu bagaimana buku terbakar secara visual, bau, dan warna, aku pun mulai memantik api pada buku 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009.

Aku mencoba membakar buku itu dari pojok bawah, secara berulang-ulang, dan hasilnya begitu mengecewakanku. Api padam begitu cepat, hanya membakar sedikit saja, dan sekedar menjadikan bagian yang aku bakar itu berwarna hitam jelaga. Awalnya aku berharap api akan langsung melalap kertas-kertas yang ada di dalamnya, merambat ke atas, dan semakin membesar. Tapi ternyata tidak. Kerapatan buku, dan oksigen yang terhalang masuk, membuat api begitu mudah padamnya. Dan itu sungguh-sungguh membuat aku sebal.

Dalam imajinasiku, dan kenyataan yang aku inginkan, rasanya akan luar biasa jika aku memegang sebuah buku yang berkorban liar, terlalap oleh api dengan amukan  yang begitu purba, dan mandanginya dengan kekaguman seorang anak kecil. Tapi nyatanya, sial, api yang aku inginkan tak kunjung menjadi nyata setelah berkali-kali aku sulut.

'Yang menarik, para penghancur buku itu memiliki kreativitas tinggi,' ujar Baez menyemangatiku. Aku pun memandangi novel O, mengambilnya, membuka halamannya dengan bersemangat, menarik, atau lebih tepatnya, merobek beberapa lembar kertas di dalamnya yang tak begitu berharga, lalu menyulutnya dengan api tanpa perlu disuruh.

Api berkorban dengan begitu mudahnya, saat bagian-bagian kertas menjadi lebih sedikit, terpisah, dan tak begitu rapat. Aku jadi teringat akan cara orang-orang tua membakar tumpukan sampah atau saat mereka sedang berurusan dengan dapur tradisional yang berbahan bakar kayu. Dan ternyata, merobek-robek novel Eka Kurniawan cukup menyenangkan juga. Saat melihat bagian dari novel itu terbakar, rasanya jadi agak terhibur saat tahu bahwa novel sejelek itu akhirnya bisa aku bakar juga.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang