MEREKA YANG TERLALU CEPAT MENGAMBIL KESIMPULAN

79 7 0
                                    

Sejak kesalahan analisaku mengenai awal mula covid, yang aku kira akan segenas ebola dan akan menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Aku mulai menata diriku sendiri. Belajar dari kesalahan paling memalukan, yaitu terlalu cepat mengambil kesimpulan yang belum mencapai kesepakatan dan titik temu.

Sejak saat itu, yang berarti hampir dua tahun lalu. Aku tak lagi mencoba mengambil kesimpulan yang cepat terhadap peristiwa dan masalah apa pun di media sosial dan portal berita. Sebelum semuanya jelas. Duduk perkaranya sudah terang benderang. Aku baru akan mulai berpandangan.

Jika kebiasaan mengambil kesimpulan terlalu cepat dipelihara terus-terus. Yang terjadi adalah seperti kesalahan yang dilakukan oleh banyak pejabat negara, yang dengan sempurna dilakukan oleh Rocky Gerung, Denny Siregar, Ade Armando, beberapa tokoh agama, dan kebanyakan rakyat yang mudah menghakimi dan menghujat hanya dengan berbekal cuplikan video dan seklumit berita yang belum berkembang.

Setelah itu, banyak dari mereka tak mau meminfa maaf dan mengakui kesalahan yang pernah mereka lakukan karena salah menarik kesimpulan dengan begitu kejamnya.

Walau kini covid perlahan nyaris mendekati kegenasan ebola. Atau jika kelak benar-benar seganas ebola dan banyak yang aku pikirkan dan tulis menjadi kenyataan. Kesalahan awal yang aku lakukan, yaitu mengira korona akan segenas ebola dan membuat negara kewalahan, benar-benar pelajaran intelektual yang sangat memalukan bagiku.

Dunia keseharian, yang berisi begitu banyaknya fakta mentah dari berbagai macam isu dan peristiwa. Yang belum ada kepastian akan kebenaran dan ujung pangkal masalah. Menjadi kuburan sempurna bagi mereka yang menyebut dirinya intelektual, cendikiawan, politisi, dan bahkan para ilmuwan.

Bagi para intelektual yang sudah terlanjur terjerat dalam kubangan figur publik dan telah menjadi sorotan media. Lupa merenung dan mundur sejenak dari suatu peristiwa. Dan sangat terlihat asyik mencoba mengomentari segala sesuatunya.

Maka suatu ketika, ia akan mendapati kenyataan yang paling menyakitkan yang seharusnya tak ia lakukan sebagai seorang yang harusnya bijak dalam berkomentar, menganalisa, dan mengambil kesimpulan.

Kenyataan bahwa ia, salah mengambil kesimpulan terhadap suatu isu dan kasus. Sudah lebih dulu menghujat, berkomentar miring, atau bahkan menertawakan suatu kasus dan masalah yang ternyata, tidak sesuai dengan kesimpulan serampangan yang diambilnya.

Itu akan menjadi momen paling memalukan bagi siapa pun yang hidup dalam dunia buku-buku, ilmiah, atau menyebut dirinya intelektual.

Saat para intelektual kian hari terlanjur menjadi konsumsi dunia kesehariannya. Ingin berkomentar apa saja terhadap banyak isu yang tak jelas. Suatu saat, ia akan jatuh karena terlalu sembrono dalam mengeluarkan pendapat.

Kebutuhan untuk langsung bersuara tanpa mendalami isu dan masalah karena dunia sosial dan teknologi telah berubah. Menjadi kubura  sempurna bagi para intelektual publik.

Demi mengejar rating di channel Youtube atau media berita yang ia miliki. Ia hampir setiap hari berkomentar terhadap apa pun. Yang pastinya, salah satu dari komentar dan pandangannya, yang dengan buru-buru diucapkan, diunduh, dan ditampilkan. Akan menjadi kejatuhannya sendiri sebagai seorang intelektual.

Ternyata, para intelektual hari ini, adalah sosok-sosok yang mulai semakin serampangan. Dan demi dilihat orang banyak, kehilangan perenungannya yang jernih dan dalam.

Jika para intelektual dan pejebat publik kian hari semakin serampangan. Rakyat kebanyakan jauh lebih brutal.

Media berita yang serampangan dan tanpa harga diri, semacam Viva, Tribune, dan lainnya, kelak, akan menjadi media yang membawa Indonesia pada perang suadara.

Begitu mudahnya media berita memberitakan hal-hal yang belum jelas, dan jika melakukan kesalahan tak ada keinginan untuk meminta maaf. Telah melahirkan banyak masyarakat internet yang brutal dab kejam.

Hanya dengan satu cuplikan video yang tak tuntas. Banyak orang, tanpa meremung, tanpa menggunakan otaknya, langsung menghujat, menuduh, dan berkata kasar dan kejam.

Dan seperti media berita yang mereka baca dan tonton. Orang-orang itu juga tak punya perasaan malu dan keinginan untuk meminta maaf.

Saat para pejabat dan intelektual, dan bahkan para ilmuwan terlalu cepat memgambil kesimpulan dengan sembrono. Ditambah media berita yang akhir-akhir ini mendidik rakyat Indonesia menjadi bodoh dan pemarah. Sedangkan banyak rakyat juga begitu mudahnya menghujat padahal baru sekedar melihat judul sebuah berita tanp membaca atau menonton isi video.

Jika mayoritas masyarakat dan pejabat negara sudah semakin terbiasa mengambil kesimpulan cepat dan serampangan tanpa kerendahan hati yang mengikuti. Apa yang akan terjadi dengan negara ini kemudian hari?

Salah dalam memilih pemimpin? Salah dalam menentukan arah ekonomi? Salah dalam memprediksi wabah, bencana alam, dan bahkan kemungkinan perang? Dan menjadi masyarakat yang tak tahu malu dari atas sampai bawah. Yang ketika salah, langsung dengan cepat menghilang tanpa tanggung jawab moral sama sekali.

Akhir-akhir ini, begitu banyaknya orang dengan mudahnya mengambil kesimpulan dalam isu publik, dan dengan kejam berkomentar sebelum adanya bukti yang pasti. Telah menjadi budaya yang sangat menakutkan bagi masa depan anak-anak yang masih kecil dan baru akan dilahirkan.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang