TERE LIYE, PAJAK, DAN KERUNTUHAN

389 7 2
                                    

Ekonomi tanpa ilmu pengetahuan adalah gelembung. Itulah Indonesia. Dalam gelembung itu, kebijaksanaan pun jauh sekali dilihat. Di sebuah negara yang hancur secara politik dan peningkatan ekonomi yang menelan segala jenis sumber daya alam yang ada. Segala kemewahan yang kita nikmati hari ini akan berakhir setelah segala jenis sumber daya alam menyusut dan percepatan ilmu pengetahuan sudah terlanjur jauh tertinggal di belakang.

Di sebuah dunia di mana buku-buku tak dianggap, penulis dipancung dengan pajak, pembajakan, dan dituntut agar setia dalam norma masyarakat. Konsumerisme adalah hal yang pada akhirnya dijadikan sebuah jalan termudah. Konsumerisme ilmu pengetahuan. Konsumerisme dalam hal membaca, mengikuti trend wacana dan pemikiran. Lalu meringkuk berkubang dalam hal-hal yang hanya disukai oleh orang kebanyakan.

Tere Liye telah memprotes keras, lebih keras dari penulis mana pun, yang mengaku dirinya sastrawan dan pemikir. Protes dengan menghentikan penerbitan buku-buku miliknya, di sebuah dunia yang mana para penulis sangat membutuhkan uang dan nama, benar-benar tidak mudah. Kenapa suara Tere lebih mudah didengar? Inilah hal yang sangat ironis di negara ini. Penulis buku populer jauh lebih terkenal dan mudah didengar dari pada para penulis yang menganggap dirinya serius, tercerahkan, mengemban moral tinggi, dan mereka yang menyebut diri intelektual.

Dalam sejarah manusia Indonesia, jika buku filsafat dan sains lebih laris dari buku populer, dunia mungkin akan sedikit mengalami kiamat. Karena itulah, sastra mencuri celah, sebagai bacaan ringan yang bisa dimasukkan ke dalam tas, dan dinikmati sebagai cemilan malam hari. Setelah bacaan populer, sastra menempati urutan kedua setelah disensor habis-habisan oleh para penerbit, editor, penulisnya sendiri, negara, dan masyarakat yang mengitarinya.

Di Indonesia, menulis sebagai profesi tidaklah mudah. Menjadi Edgar Allan Poe yang hidup hanya dari tulisan-tulisannya sendiri biasanya berakhir miskin atau jika sudah terkenal, harus menjilati berbagai bokong orang-orang lebih dahulu jika ingat tetap bertahan dari rimba keji dunia tulis-menulis di negara ini. Agar tidak terlempar dari dunia kepenulisan, orang-orang berebut masuk dalam kesukuan. Tapi, ketika kesukuan sudah terlanjur mencengkram erat, membuat segala percobaan pemikiran berhenti.

Bahkan ketika sudah masuk dalam ranah kesukuan, mengikuti segala peraturan, tetap diam dan tak terlalu banyak bicara, agar terhindar dari menyinggung orang-orang. Pajak yang tinggi membuat para penulis seolah-olah tak diijinkan untuk hidup dalam dunia kata-kata secara menyeluruh. Itulah sebabnya, para penulis Indonesia menganggap menulis adalah perkara sampingan. Sedikit yang berani menulis sebagai jati diri hidup, pekerjaan utama, dan digeluti dengan penuh keyakinan. Pekerjaan utama para penulis adalah dosen, guru besar, pengusaha dan pedagang, pekerja kantoran, guru, dan banyak profesi lainnya yang lebih menjamin banyak uang dan sedikit kestabilan dari pada uang yang dihasilan dari tuliskan yang nyaris tak seberapa besarnya.

Di Indonesia, seorang penulis, seorang sastrawan, seorang penyair, kebanyakan adalah jati diri yang kesekian. Bukan yang utama. Karena bukan pekerjaan utama, maka para penulis di Indonesia harus tetap diam seribu bahasa, jangan menyinggung atasan, lembaga sendiri, atau orang yang memberinya pekerjaan. Karena pekerjaan utama para penulis di tangan para bos besar dan orang-orang yang anti-kritik. Maka menulis yang terlalu jauh, akan berakhir pada pemecetan kerja atau nama yang tercoreng sehingga mengurangi pemasukan. Itulah sebabnya, ada kesepakatan dalam diam dari hampir seluruh penulis di Indonesia, yaitu, menulis yang biasa-biasa saja, mudah diterima masyarakat, dan tidak membuat diri terjerumus dalam penghujatan massa. Ditolak masyarakat dan dipenjara, adalah hal yang benar-benar dihindari oleh para penulis Indonesia dengan cara apa pun.

Para penulis Indonesia menghindari benturan dan main aman. Solusi terpendek yang diakui bersama adalah menjadi konsumen segala jenis buku impor atau terjemahan. Orang boleh mengagumi Nietzsche tapi jangan sampai menulis seperti Nietzsche. Orang boleh memuja-muja para Anarkis, Komunis, para sastawan kejam, amoral, bahkan homoseksual, asalkan mereka orang luar negeri dan buku mereka adalah terjemahan. Lebih baik, kalau mereka semua sudah mati. Maka, masyarakat Indonesia akan cenderung diam dan tak banyak mengeluh. Entah mereka Dawkins, Thomas Harris, atau bahkan mungkin yang paling membenci laki-laki dan kehidupan, asalkan mereka semua orang luar. Maka masyarakat tak banyak omong. Menjadi konsumen pemikiran orang luar negeri akhirnya jadi sangat populer. Menjadi jalan mudah agar tidak disingkirkan oleh masyarakat dan negara. Untuk apa repot-repot menulis hal yang kontroversial, yang pada akhirnya membuat kita dipenjara dan diusir dari negara ini, bahkan dibunuh walau ide-ide kita mungkin sangat orisinil dalam beberapa hal? Lebih baik biarkan orang-orang luar saja yang menciptakan hal-hal yang aneh-aneh, kita tinggal menerjemahkannya, agar terhindar dari penghakiman massa, lalu kita menulis hal-hal yang disukai banyak orang dan tak banyak menyinggung ini dan itu. Terlebih saat menulis tak membuat kita aman secara finansial dan pajak yang besar menghantui siapa saja yang coba untuk menulis sebagai jalan hidup dan hal yang utama.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang