MENGHAPUS PALESTINA, MENGHAPUS ISRAEL

460 4 0
                                    

Edward Said sudah mati. Palestina yang dibelanya nyaris tak bergerak. Dalam kematiannya, tersimpan kegagalan seluruh intelektual dan segenap orang terpelajar yang pernah hidup. Israel berdiri pada tahun 1948. Sekarang, tak terasa sudah tahun 2017. 69 tahun sejak Israel pertama kali berdiri dan orang-orang Palestina tak lagi memiliki rumah. Nyaris setua negara bernama Indonesia. Ya, setua negara bernama Republik Indonesia. Negara yang memiliki jumlah orang Islam terbesar di dunia.

Karen Armstrong dalam Perang Suci menulis kisah yang sangat bersejarah itu, "Pada tanggal 14 Mei 1984, di Museum Tel Aviv, David Ben Gurion memimpin upacara proklamasi negara Israel. Peristiwa itu adalah akhir dari perjuangan panjang orang-orang Yahudi yang penuh pengabdian untuk membangun tempat tinggal baru dan juga identitas baru bagi kaum mereka." Intinya, orang Israel akhirnya memiliki rumah setelah berabad-abad berada dalam diaspora, dibunuh, dikucilkan, dan mengalami cobaan paling berat dari semua bangsa yang pernah ada. Tapi, orang-orang Arab juga marah, "Negara-negara Arab bersumpah untuk memusnahkan negara baru tersebut." Ya, orang-orang Arab berhak marah, berhak kecewa, orang-orang Palestina berhak berperang demi tanah mereka yang berharga. Demi kampung halaman. Dan, dua-duanya berjuang demi kampung halaman. Demi rumah. Demi kedamaian. Demi hidup tanpa ketakutan. Sampai di sini, saat aku, beberapa tahun lalu sibuk membaca semua hal yang berkaitan dengan Israel dan Palestina, aku akhirnya sadar.

Saat aku melihat sejarah ke belakang, dan memandang berbagai hal, akhirnya aku tahu, Tuhanlah yang paling bersalah. Lalu manusia. Tapi, apakah semudah itu? Tidak. Sangat tidak mudah.

Sekarang, di saat dunia diributkan kembali dengan masalah ini, dan saat itu, beberapa tahun yang lampau, saat orang-orang Palestina dimusnahkan, beribu-ribu manusia, aku masih teringat kuat akan pemusnahan itu, dunia pun kembali diam. Sekarang, keadaannya nyaris selalu sama. Tak berubah. Kosong. Simpati yang kosong. Seluruh intelektual, cerdik cendikia, orang-orang terpelajar, diam. Tak berkutik. Tak berguna. Seolah-seolah keberadaan mereka semua, selama 69 tahun percuma. Tak menghasilkan apa pun. Para akedemisi, diplomat, negarawan, politikus, sastrawan, aktivis, penyair, seniman, pembela HAM, seluruh lembaga dunia dengan orang-orang terpintarnya, para jenius besar dalam bidang sains dan ranah sosial, mereka semua gagal. Ya mereka semua gagal. Tak berguna.

Dan aku jadi teringat dengan Edward Said yang berjuang dengan gigih membela Palestina walau harus dikucilkan dan diteror sepanjang waktu. "Apakah Anda sudah melihat buku saya tentang kaum intelektual yang merupakan Rangkaian Ceramah Reith yang saya berikan kepada BBC di tahun 1993 yang bertajuk Representations of the Intellectual? Well, pada dasarnya, yang sudah terjadi adalah bahwa mereka terjebak dalam profesionalisme dan kepakaran, yang tak lain adalah fokus yang sempit. Anda tahu bahkan selama ini ada antusiasme yang sangat dramatis di pihak yang disebut sebagai intelektual-intelektual tukang, yang hanya berminat pada ekonomi, persoalan-persoalan sosial, masalah-masalah perempuan, dan bekerja untuk kekuasaan yang ada. Gagasan tentang intelektual sebagai yang mewakili orang-orang tak berdaya, orang-orang yang dirampas haknya, tidak eksis." Dan ya, Edward Said benar. Walau orang bisa membantahnya bertubi-tubi.

69 tahun adalah bukti dari ketidak-eksisan itu. 69 tahun. Waktu yang benar-benar sangat lama. Di mana dunia tak mampu menyelesaikannya. Dunia. Bukan sekedar satu kota. Atau satu provinsi. Tapi dunia. Selama 69 tahun, yang mana, di tahun berikutnya, menjadi 70 tahun, berikutnya lagi, mungkin akan mencapai 100 tahun. Dan terus seperti itu. Tahun terus bertambah. Dan umat manusia, yang juga terus bertambah, yang hari ini mendekati 8 milyar manusia. Di tahun 2030 akan mencapai 8,5 milyar manusia. Dan 9,7 milyar manusia pada tahun 2050. 11,2 milyar di akhir abad ini. Anehnya, tak ada yang mampu menyelesaikan persoalan persengketaan tanah yang secuil itu. Tak ada yang mampu. Atau lebih tepatnya, tak ada kemauan. Ya, tidak ada kemauan. Seperti yang Said bilang, "Kaum intelektual sudah kehilangan persentuhan dengan masyarakatnya sendiri, mereka sudah ter-Amerika-kan, mereka mengabdi kepada rezim." Paling mudahnya, segenap kaum terpelajar di seluruh dunia, kebanyakan dari mereka, lebih memilih hidup nyaman dan mudah. Tak terlibat dengan hal-hal semacam Palestina secara langsung. Menjaga jarak. Sekedar menjadi penonton. Lalu tinggal bilang, bersimpati, berempati, dan terus seperti itu, selama 69 tahun. Hingga generasi baru bertumbuh dan melakukan hal yang nyaris sama dengan generasi terdahulu.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang