Akhir-akhir ini, saat aku tengah sibuk dengan sejarah kesenian, aku jadi teringat dengan Salvador Dali yang terselamatkan oleh psikoanalisis. Sedangkan di sisi lainnya, van Gogh menyerah karena lahir lebih awal dari pada Freud. Begitu juga Nietzsche yang akhirnya menyerah terhadap kekacauan dalam dirinya sendiri.Saat memikirkan hal-hal semacam itu, datangnya Freud dan berbagai macam turunannya, masih menyisakan banyak lubang bernama bunuh diri dan anti-empati. Lubang yang terlampau menganga lebar, menelan segala macam usia dan latar belakang. Banyak orang masih merasa kesepian dan berpikir bagai tak berada di dunia ini. Dan di saat-saat melankolis, aku teringat Leonardo da Vinci, yang mungkin akan jadi gelandangan jika tidak ada Verrochio atau Mozart yang akan menjadi hancur jika tidak segera lepas dari ayahnya yang terlampau protektif dan obsesif, Leopold Mozart. Dan Beethoven yang sepanjang hidupnya terhantui akan kemungkinan menciptakan salinan-salinan Mozart yang sudah mati. Chopin yang rentan dan Schubert yang mati dalam cara yang tak begitu menyenangkan.
Saat membaca Michelangelo karya Unger, aku bagaikan sedang membaca diriku sendiri dan ingin segera mendiskusikannya dengan orang lain. Hal ini juga berlaku saat aku tengah membaca Masterworks Van Gogh karya Nathaniel Harris, The Private Live of the Impressionist milik Sue Roe dan buku nyaris saja ingin aku beli The Art of Rivalry yang membicarakan persaingan dan keintiman aneh antara Picasso dan Matisse, Degas dan Manet, Bacon dan Freud, serta de Kooning dan Pollock. Membaca buku-buku ini sangat menyenangkan. Sama menyenangkannya saat membaca karya Arthur C. Danto mengenai kritik seni atau buku-buku mengenai Rembrandt yang mati dalam aib, Vermeer yang terlupakan sebegitu lamanya, atau Turner, seniman Inggris terkenal dan yang mengubah dunia lukisan di masanya, akhirnya jatuh bangkrut dan menjadi agak menyedihkan.
Membaca buku sangat menyenangkan. Karena akhirnya berlanjut ke buku-buku lainnya. Dunia-dunia baru terbuka. Keasyikan baru akan hal-hal yang tak terduga dan yang baru saja diketahui, menjadikan proses pembacaan menjadi menyenangkan bahkan menegangkan. Mungkin juga akan sangat menyenangkan saat membaca karya Sue Roe yang lain, In Montmartre yang membicarakan Picasso, Matisse, dan kelahiran seni modern. Atau akan sangat menyenangkan saat membaca Claude and Camille dari Stephanie Cowell. Masalah terbesarnya, selalu dan nyaris susah diacari jalan keluarnya, siapakah yang harus diajak bicara? Dari buku semisal The Gardner Heist milik Ulrich Boser sampai Brilliant Green, ssbuah buku menarik karya Stefano Mancuso dan Alessandra Viola, mengenai tumbuhan yang memiliki kecerdasan.
Mengaitkan antara The Origin of Species dengan Sejarah Estetika milik Martin Surajaya mungkin akan menyenangkan. Atau mendiskusikan buku Kurasi dan Kuasa dari Agung Hujatnikajenong dengan Sastra Indonesia yang jarang sekali menuliskan novel tentang kesenian kecuali yang sudah biasa atau kesenian dalam keseharian. Seperti Pintu Terlarang atau Perahu Kertas yang bagi aku tak cukup. Karena, ini hal yang sangat subyektif, yang aku inginkan adalah sebuah novel mengenai Affandi dan generasi seniman semasanya, misalnya. Sehingga merekam geliat kesenian di masa lalu dan bagaimana tokoh-tokohnya bertumbuh dan bersinggungan.
Atau membicarakan karya-karya milik JK. Rolling, Cornelia Funke, Christopher Paolini, Brian Selznick, hingga buku yang beberapa kali aku baca milik Jonathan Safran Foer. Membandingkannya dengan sastra dunia yang kita kenal, film-film, dan dunia pemikiran lainnya. Membicarakan dan berpindah dari satu hal ke hal lainnya-rasanya sangat menyenangkan. Itulah yang aku bayangkan selama ini. Hingga pada akhirnya, membaca menjadi kegiatan yang melelahkan, hilangnya perasaan antusias, dan keasyikan yang bertahan sebentar saja.
Aku tak tahu, ada berapa banyak orang yang menyukai The Revenant dari Michael Punke sampai pada buku-buku John Krakauer, mungkin. Membayangkan Into the Wild hingga merasakan perjalan menggairahkan dari Eric Weiner dalam Geography of Bliss. Setelah itu kita akan membicarakan filsafat, astronomi, psikologi, atau sekedar kebudayaan sekitar dan keseharian sebuah masyarakat di berbagai negara yang berbeda.
Terlalu banyak buku yang aku baca. Tapi sangat sedikit yang bisa aku ajak membicarakannya. Di sinilah letak menyakitkan seorang pembaca buku. Dunia mendadak kurang sempurna dan tak lagi begitu menyenangkan. Gairah membaca akhirnya pudar jika tak ada sosok yang seimbang untuk membicarakan bahan-bahan bacaan yang kita sukai. Banyak orang pada akhirnya beralih pada sekedar membaca untuk menghilangkan bosan, sepi, atau sekedar bertahan agar sedikit tahu bahwa kita masihlah hidup. Buku-buku kita pada akhirnya berubah menjadi sekedar alat untuk terapi.
Di dunia yang orang-orangnya kelelahan secara emosional dan kejiwaan. Buku-buku tak lagi mampu menjembati ikatan-ikatan sosial baru.Ketertarikan pada seseorang dengan hobi yang sama, seringkali bertahan sebentar saja, setelah itu menguap. Tulisan-tulisan menjadi tak berguna dan mati. Kita sering bertemu di berbagai macam acara buku, tapi kita saling membisu, abai, dan akhirnya, kita hanyalah sosok-sosok yang sekedar lewat. Buku-buku tak membuat kita ingin saling mengenal dan berbagi. Buku-buku tak lagi membuat kita saling berempati. Pada tahap ini lah, siapa pun yang merasakan sebagai pembaca buku dalam arti terus mencari akan tahu, buku-buku tak lagi memiliki luar biasa banyak kesenangan. Buku-buku pun mati.
Saat aku menemukan sosok Julia Verne, The Journey to the Center of the Earth, aku jadi ingin membandingkannya dengan Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dari Luis Sepulveda dan penulis-penulis lainnya. Antara Frankenstein dan Faust. Atau Hannibal karya Thomas Harris sampai The Interpretation of Murder karangan Jed Rubenfeld. Aku ingin membicarakan ini, lalu bergerak ke Pramoedya, penulis modern Indonesia, atau tiba-tiba membicarakan Jenghis Khan lalu Raden Saleh.
Jika proses setelah membaca bisa seperti itu, membaca mungkin tak lagi begitu berat dan sangat menekan. Pertukaran informasi pun lebih cepat dan akan menarik sambil membicarakan film terbaru, Loving Vincent, mungkin, dan mengaitkannya dengan karya Irving Stone, Lust for Life atau Van Gogh: The Life dari Steven Naifeh dan Greogory White Smith.
Aku juga tengah memesan sebuah buku yang berisi surat-surat van Gogh kepada adiknya Theo, The Letters of Vincent Van Gogh. Dan membayangkan percapakan yang menyenangkan bagaimana bisa van Gogh tak sadar akan perhelatan penting, seperti pameran Impresionis pertama? Atau membicarakan bagaimana Impresionisme bisa diterima di Amerika, yang tak lain bukan karena seorang dealer bernama Paul Durand-Ruel.
Membayangkan, membayangkan, dan terus membayangkan, sampai pada akhirnya membaca menjadi kegiatan yang begitu melelahkan dan kehilangan hal yang sangat penting yaitu komunikasi. Terlebih saat anak-anak seni pun ketakutan saat diajak membicarakan buku-buku dan dunia sastra menjadi begitu menciut dan membatasi diri sendiri dalam hal bacaan dan wawasan-wawasan.
Seseorang mungkin memiliki ratusan hingga ribuan buku. Membaca luar biasa banyak tumpukan buku selama hidup dan berkembang. Tapi, kenyataannya, sedikit yang berubah dari dunia sosial kita menyangkut perasaan empati dan saling pengertian. Menyangkut karya-karya berkualitas dan luar biasa, sangat minim dan tertekan habis. Banyak penulis menyerah dan hanya sekedar menjadi pembaca buku karena karya yang dituliskannya hanya sekedar uap yang lewat saja. Dan buku-buku menjadi tersendat dan kemudian diisi oleh banyaknya ketakutan. Di mana dunia kita terlampau banyak ketidakpedulian, saling abai dan curigai. Bersinggung dengan orang lain rasanya seperti, "Jangan menganalisaku!" Dan yang terjadi, orang-orang lebih memilih diam dab menutup diri. Buku-buku menjadi kutukan bagi mereka yang ingin berkembang. Menjadi bencana bagi mereka yang takut untuk diungkap dan tak ingin segera berubah. Buku-buku menjadi monster meresahkan untuk mereka yang puas dengan kestabilan dan status quo.
Di titik inilah, menjadi pembaca buku yang rakus rasanya benar-benar sangat menyakitkan. Kadang, di masyarakat semacam ini, aku berharap menjadi seorang idiot dan pengidap disleksia parah yang tak terlalu banyak berharap dengan buku-buku. Di titik itulah, dunia mungkin menjadi agak menyenangkan. Mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...