BIARKAN PEMBACA MENULIS ISI PIKIRANNYA SENDIRI

46 0 0
                                    

Jumlah orang di dunia ini ada miliaran. Dengan sejarah hidup yang berbeda. Memiliki sudut pandang yang berbeda. Dan tak sepakat dengan banyak hal sekaligus.

Dalam hal menulis, kamu tak akan bisa memuaskan banyak orang. Bahkan jika kamu membuat buku dengan jutaan halaman di dalamnya. Pasti akan selalu ada orang yang menganggapnya salah di bagian-bagian tertentu. Dirasa kurang. Tak puas. Atau dirasa ada yang mengganjal dan tak sesuai.

Bahkan tak perlu miliaran orang, hanya satu orang saja, bisa sangat tak setuju atau berbeda pendapat dengan apa yang kita tulis. Karena kita manusia. Kita punya pengalaman yang berbeda. Dalam satu tulisan saja, bisa berisi banyak pengalaman dari berbagai macam jenis orang. Dalam satu esai singkat saja, bisa berisi sejarah hidup berbagai jenis orang yang berbeda.

Inilah alasan kenapa, entah esai kecil atau buku yang tebal, tak akan bisa memuaskan siapa pun. Akan selalu ada yang kurang, yang tak memuaskan, berbeda, tak disetujui dan lain sebagainya.

Karena kita, yang sedang menulis, tidak membuat buku autobiografi pembaca yang membaca tulisan kita. Bayangkan, apa yang terjadi jika miliaran orang menuntut apa yang dibacanya sesuai dengan dirinya secara keseluruhan? Itu berarti penulis harus menulis satu autobiografi pemikiran dan pandangan hidup dari masing-masing orang.

Satu orang, satu tulisan. Satu esai khusus. Atau satu buku khusus. Yang sesuai dengan orang tersebut. Ini berarti kita harus mewawancarai seluruh orang di dunia ini satu persatu. Dan setiap tulisan harus sesuai dengan masing-masing orang.

Tak boleh ada tulisan umum. Jika tulisan umum itu diterbitkan. Maka miliaran pikiran orang itu harus dijadikan satu. Siapa yang mau membaca buku dengan triliunan halaman? Jika satu esai saja, banyak orang sudah sangat malas membacanya.

Itulah sebabnya, sejak dulu aku menulis hanya untuk orang yang merasa cocok dengan apa yang aku tulis. Dalam dunia semacam ini, yang mayoritas pembaca tak lebih dari parasit intelektual. Selalu menuntut. Membiayai penelitian saja tidak. Membeli buku juga tidak. Tak pernah menulis isi pikirannya sendiri. Tapi selalu menuntut ke kita dengan gratisan harus ini dan itu.

Cara terbaik adalah menulis fakta-fakta yang memang ada dan menjadikannya sebuah kemungkinan pemikiran. Entah fakta itu hanya berupa satu orang, dua orang, dan beberapa saja. Itu adalah fakta. Jika itu terjadi, maka kenyataan di dunia, memang pernah ada hal semacam itu.

Jika apa yang kita tulis, yang berawal dari fakta kecil ini ditolak oleh orang lain yang merasa tak sepakat. Biarkan saja mereka menulis kenyataan mereka sendiri yang lain. Jika mereka menuntut penelitian yang lebih rinci dan jelas, biarkan saja mereka melakukannya sendiri.

Untuk para pembaca parasit yang selalu menuntut dengan gratis. Jika mereka tidak puas dengan tulisan tertentu. Suruhlah mereka buat autobiografinya sendiri.

Kamu tak akan bisa memuaskan siapa saja. Bahkan hanya memuaskan satu orang itu sudah sangat susah. Cara terbaik adalah dengan menuntut pembaca untuk menulis pemikirannya sendiri. Menulis lubang yang belum kita tulis. Atau sebenarnya malas kita tulis. Atau juga, biarkan mereka mengisi bagian-bagian yang tidak kita tulis dan berkontribusi untuk menguatkan apa yang kita tulis.

Kita hidup di Indonesia. Yang mana teman sendiri saja malas membeli buku kita. Saat riset panjang pun akhirnya menjadi bungkus nasi kucing atau dijual murah di lapak Gramedia dengan obral. Jadi buat apa harus menerima masukan berbelit yang menyuruh kita ini dan itu dari para pembaca yang hanya sekedar mau membaca saja?

Inilah abad, di mana para pemikir, filsuf, saintis, dan banyak penulis sudah merasa cukup untuk menulis secara serius. Melakukan penelitian panjang yang pada akhirnya juga diabaikan. Sekarang, kita hanya menulis seadanya saja. Walau kita tahu banyak hal, menulis esai kecil jauh lebih menyenangkan dari pada sebuah buku tebal yang akan berakhir di tong sampah; seperti halnya rak buku. Rak buku adalah tong sampahnya orang-orang yang lebih terdidik.

Jika ada yang tak puas dengan apa yang kita tulis. Biarkan saja. Biarkan saja mereka yang menulis isi pikiran mereka sendiri. Jika mereka malas untuk menulis. Biarkan saja.

Mungkin, beberapa generasi tak membutuhkan para pemikir dan penulis bagus dan rela melakukan riset tinggi. Tidakkah itu akan membuat banyak orang berpikiran dangkal, mudah terbawa kabar palsu, mudah diadu domba dan dibohongi? Ya biarkan saja. Di sebuah masyarakat yang nyaris parasit terhadap apa pun. Anggap saja hal-hal semacam itu adalah biasa.

Jika kelak, negara ini akan mengalami kekosongan para pemikir dan ilmuwan, ya biarkan saja. Masyarakat dan pemerintah menginginkan hal itu. Untuk apa kita repot-repot memikirkan orang lain yang jumlahnya banyak itu?

Karena saat ini, aku melihat seorang penulis bagus dengan ribuan halaman riset panjang dan melelahkan. Itu pun, hanya dibaca oleh beberapa orang saja. Ratusan juta lainnya, menganggapnya tak penting. Atau tak peduli. Entah buku itu ada atau tidak. Entah penulis itu ada atau tidak. Di Indonesia, asalkan kamu memiliki ekonomi yang mapan, kamu bisa mengabaikan nyaris apa saja.

Termasuk, seorang yang kini telah lelah dan mengabaikan seluruh riset tak berguna miliknya dan akhirnya memilih mencari uang saja. Karena sebuah riset penting, seringkali tak membuatmu dianggap penting.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang