Thor, jangan lakukan ini, demi anak-anak, ucap istri Thor Hayerdahl dalam film Kon-Tiki. Sebuah film, yang bagiku sendiri, selayak film Tracks, dan lainnya. Dunia para penjelajah, ilmuwan, peneliti, dan mereka yang awalnya dianggap gila dan tak mungkin untuk membuktikan gagasannya, atau mencari suatu kebenaran yang sedang ingin dituju.
Beberapa waktu yang lalu, aku menonton The Man Who Knew Infinity, yang menceritakan Ramanujan. Tokoh besar India, yang berjuang demi apa yang ada dan datang di kepalanya. Pembuktikan partisi yang terkenal susah itu. Perjuangannya tak mudah. Selalu saja, di dunia semacam itu, terlebih ketika India di bawah Inggris, selalu tak mudah. Kulit putih masih bersifat lebih hebat. Entah di dalam dunia tentara atau ilmu pengetahuan. Tapi, dia jenius langka yang akhirnya mati muda demi ilmu pengetahuan. Langkah besarnya membawa fajar baru tak hanya bagi dunia sains, terlebih matematika. Tapi fisika dan astronomi. Dan menginspirasi banyak ilmuwan besar kemudian hari. Dan memberikan sumbangan dari lubang cacing hingga black-hole. Dulu, aku hanya tahu dia ketika membaca buku-buku astronomi. Setelah melihat dunianya di layar kaca, jenius apa pun, hidupnya selalu tak mudah.
Aku hanya berharap bahwa 100 hari dari sekarang, anak-anak masih memiliki ayah, ujar Liv di seberang telpon ketika ekspedisi menggunakan Tiki, rakit tradisional Polinesia, akan segera dilakukan. Thor, dan krunya akan menyeberangi samudra pasifik. Dari Peru ke Polinesia. Demi membuktikan bahwa orang Amerika Selatanlah, yang telah menemukan kepulauan itu. Tentunya, sebuah ekspedisi gila dan seolah bagaikan misi bunuh diri. Sebuah pembuktiaan, yang awalnya ditolak oleh siapa pun. Dan aku tak tahu, apakah benar orang Amerika Selatan pernah berlayar ke Polinesia. Mengingat banyak hal, di dalam dunia anntropologi, etnologi dan lainnya, mencoba membuktikan dengan banyak cara yang berbeda dari sudut pandang mereka masing-masing. Tapi yang jelas, seorang ilmuwan, entah awalnya berada di hutan, perkotaan, atau gunung dan es, mempertaruhkan banyak hal demi gagasan-gagasan dan apa yang menurut mereka benar. Banyak dari mereka mati. Dan kita harus berterimakasih kepada mereka. Karena merekalah, kita mampu menikmati banyak hal yang kini kita kenal. Pencapaian, sangat banyak pencapaian yang tak sadar kita nikmati karena sudah menjadi hal biasa di dalam ilmu pengetahuan keseharian kita. Karena kita mendapatkannya tanpa terlalu banyak bersusah payah. Di toko buku, kelas yang nyaman, di taman kota, mobil, pesawat, apartemen, layar tv dan gadget kita. Hingga kita lupa, akan proses kisah, sejarah, dan segala jenis ilmu dan pengetahuan yang kita miliki.
Di dalam apa yang hari ini kita kenal, dimulai oleh mereka-mereka yang mungkin merana di lautan. Membeku di kutub. Tersesat di hutan yang tak berujung. Mengalami maut di lembah dan puncak gunung. Atau di penjara, dan mati oleh banyak hal.
□
Entah film semacam A Beautiful Mind, The Theory of Everything, The Bang Bang Club, Battle in Seattle, Einstein and Eddington, A Dangerous Method, dan banyak lainnya, dari bermuatan intelektual, politik, maupun sains, harusnya membuat kita sedikit lebih sadar diri.
Sejujurnya, bagi kita yang terbiasa menonton banyak film berkualitas, tak perlu harus dikasih tahu, atau bahkan tak usah terlalu banyak membaca buku dan berita. Bahwa, semakin hari, banyak film ditunjukkan ke dalam cangkang otak kita dan seperti bilang, sebagian dunia dibangun oleh mereka dengan mempertaruhkan nyawa dan kewarasan hidup.
Kita berhutang banyak kepada mereka; seniman, sastrawan, penyair, penjelajah, ilmuwan, sejarawan, segala macam aktivis, pencinta lingkungan, antropolog, jurnalis, fotografer lapangan maupun yang hidup dalam gagasan dan pembuktiaan, pembuat film dokumenter, intelektual, filsuf, dan banyak lainnya. Dunia tanpa mereka, mungkin membuat kita akan hidup di bawah naungan diktator atau zaman batu.
□
Sayangnya, banyak dari kita masih hidup di dalam dunia Supertramp, dalam Into The Wild. Kita kecewa terhadap dunia. Meninggalkan kehidupan perkotaan. Ingin kembali ke alam. Walau biasanya sering tak lama di dalam tubuh alam. Sekedar melupakan sejenak perasaan tertekan kita akan dunia. Atau mati sia-sia ditelan alam itu sendiri. Kesia-siaan terbesar Christopher Johnson Mccandless, yang meninggal, sangat tak lama dari kita, pada agustus 1992, adalah melupakan otaknya yang pintar untuk keluar dari peradaban yang membuatnya geram. Jika seluruh generasi kita, atau banyak dari kita sekedar kembali ke alam, tanpa meninggalkan jejak pemikiran, jalan keluar, atau ilmu pengetahuan, rasa-rasanya, kita bagaikam diseret pada ketidakberdayaan diri kita sendiri. Seolah-olah ada nada cemooh di sana; untuk apa lagi melakukan itu semua? Masalah dunia ini tetap tak akan pernah selesai bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...