Wajah-wajah kuyu ada di sekitarku. Orang-orang di depan sana. Mengenang masa lalu komunitas mereka dengan cara yang menarik tapi juga menyimpan hal yang sangat jelas. Yaitu sastra kesukuan.
Orang-orang lama yang sekarang, entah mereka ada di mana. Banyak nama. Tapi sedikit yang aku tahu dan ingat. Siapakah mereka? Apakah mereka penting?
Baiklah. Merekalah generasi terakhir. Sedikit yang mengingat mereka pastinya. Setelah mereka mati. Siapa yang ingat?
Oh dan anak-anak muda di sekitarku ini. Siapa mereka? Di antara puluhan atau seratusan orang di sini. Apa aku mengenalnya? Atau hanya sekedar duduk di sini. Mendengarkan. Lalu mati.
Hanya orang-orang di komunitas dan sekitar mereka sendiri yang saling ingat. Di luar itu, sedikit dari mereka yang selamat.
Mereka berkumpul. Begitu banyak. Tapi hanya sedikitlah yang dikenang. Apakah karena kekuasaan atau tidak memiliki karya yang benar-benar bagus?
Terlebih bagi mereka yang tak punya komunitas. Benar-benar tersingkir. Sastra kesukuaan memang penting. Bisa membuat seseorang menjadi sastrawan. Menyingkirkan sastrawan. Menolak orang yang berseberangan dengan mereka. Dan saling melindungi.
Sastra lama mungkin bagus karena bisa saling mengejek dan bisa saling mendukung. Tapi yang tersisa dari sastra kesukuan adalah kesulitan untuk mengkritik sangat keras teman sendiri. Sebaik apa pun mereka ingin terbuka.
Yang tersisa hanyalah bertegur sapa dan saling, mendukung; tak ingin menyinggung yang lainnya.
Sastrawan Jogja? Entahlah.
Sebanyak apa pun orang tua yang ada di depan sana mengenang dunia mereka. Kenyataannya, sedikit yang dingat. Itu berarti, dari ribuan sastrawan dan penyair masa lalu. Hampir semuanya menjadi tak penting. Kecuali sedikit. Dan sangat sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...