MEMBURU ESAI: MEMBONGKAR OTAK SASTRAWAN INDONESIA

122 1 0
                                    

Dalam bukunya  Goenawan Mohamad, Marxisme Seni Pembebasan, terdapat sebuah esai berjudul Camus dan Orang Indonesia, yang begitu menggelitik pikiranku dan kenanganku di awal aku menganggap apa itu Sastra Indonesia. Esai itu menggambarkan alasan kenapa karya dan pikiran-pikiran Albert Camus bisa masuk ke Indonesia, mudah diterima, dan sangat disukai. Hal yang langsung mengena dan terasa tepat dengan anggapanku akan  Sastra Indonesia dan sastrawan itu sendiri, sangat cocok dituliskan oleh Goenawan Mohamad dalam esainya itu, "Para sastrawan Indonesia tampaknya senantiasa cenderung untuk tak bisa membayangkan sebuah kesusastraan yang tanpa bobot pikiran. Salah satu contoh yang tipikal ialah sikap yang tecermin dalam sebuah tulisan Idrus, pengarang Surabaya itu, di majalah Gema, September 1946. Idrus, yang juga menerjemahkan beberapa karya sastra dari Rusia, menolak pengaruh kesusastraan Amerika -termasuk Hemingway- yang dianggapnya dangkal, dengan alasan: bangsa Indonesia "dari dulu diajar berpikir dalam-dalam." Tak mengherankan bila kencenderungan itu, yang tak cuma terdapat pada Idrus (Asrul Sani juga menolak "puisi emosi semata"), menemukan dalam kesusastraan Prancis yang dibawakan Camus dan Sartre sesuatu yang berbinar-binar."

Bisa dibilang, bagiku sendiri sastra adalah bagian lain dari filsafat dan dunia pemikiran. Dan para sastrawan itu sendiri tak kurang haruslah mirip seorang intelektual. Setidaknya dia bisa berpikir dan paling minim, mampu menulis esai yang bagus di mana pun dan kapan pun dia berada. Jika menyangkut esai Goenawan Mohamad, aku sendiri tak ubahnya dengan Idrus dan Asrul Sani, dan sekian banyak penulis Indonesia periode lama lainnya yang meyakini akan kedalaman pikiran yang harus dimiliki oleh para sastrawan. Dalam sikap inilah, aku lebih sering memburu berbagai macam esai dari pada novel, puisi, atau karya sastra yang pada dasarnya lebih berjarak dan sedikit banyak kehilangan sisi subyektivitas sang penulis.

Dahulu kala, saat kita menengok Sutan Takdir, Hamka, hingga generasi Chairil, Asrul Sani, Situr Situmorang, hingga Pramoedya, Goenawan Mohamad dan WS. Rendra, dengan ideologi apa pun. Sastrawan dan intelektual adalah dua kata yang biasanya menjadi satu, yang mana kata terakhir hampir selalu mengikuti kata 'sastrawan'. Bisa aku bilang, sastrawan lama sebagai mayoritas besar, aku menganggapnya seperti itu, sejauh yang aku tahu, juga adalah seorang intelektual yang tidak hanya pandai menulis tapi juga berdebat, berpolemik, berpikir, membaca banyak buku, menyukai gagasan baru atau menolaknya dengan argumen yang berani walau isinya tak begitu kuat sekalipun. Dan yang lebih penting, mereka ingin mencipta dan berani berpikir liar! Lihatlah bagaimana Takdir dalam esai-esainya. Asrul Sani dalam renungannya yang liar dan agak jalang. Dan Chairil dengan puisinya yang ingin putus dengan masa lalu dengan menciptakan gaya ucap yang baru.

Jika aku membayangkan masa itu, masa yang sebenarnya kacau dan simpang siur tapi juga masa di mana bahkan Presiden Indonesia saja, Soekarno, ternyata jugalah seorang intelektual dan penulis esai yang kuat. Ini berlaku juga dengan wakilnya, Hatta, dan malah juga Sjahrir, para menteri, dan yang lainnya. Bisa dibilang, cap intelektual, gemar membaca buku, siap berpolemik, berani menyuarakan isi otaknya, dan mampu menulis, minimal esai, adalah suatu keumuman yang dimiliki para seniman, penyair, sastrawan, budayawan, negarawan, hingga para politisi.

Keistimewaan semua kemampuan itu bukan hanya milik Tan Malaka seorang. Yang mungkin kita menganggapnya selama ini sebagai intelektual yang lebih sejati. Para pemimpin partai yang gemar berpolemik dan menulis sampai anak sekolahan semacam Soe Hok Gie, waktu itu masihlah ada. Ya, waktu itu masihlah ada dan cukup banyak.

Dan banyak dari mereka, selain mati meninggalkan buah karya berupa buku sastra atau pemikiran. Mereka nyaris selalu memiliki esai dan esai. Dan membaca buku esai dari Soekarno sampai buku esai dari Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Pramoedya Ananta Toer, sampai esai-artikel Soe Hok Gie, Arif Budiman, Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad dan segenerasinya, sungguhlah sangat menyenangkan bagiku.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang