NOVEL KEDUA: PERSIAPAN

145 2 14
                                    

"I consider myself a very mediocre painter. I have always affirmed that I'm a very mediocre painter than my contemporaries. If you prefer, they're much worse than I am," ujar Salvador Dali dalam percakapannya dengan Alain Basquet. Sebuah percakapan yang bagiku sendiri, seolah mewakili keberadaanku. Layaknya Dali, aku sering berpikir, dalam menulis, aku lebih baik dibandingkan sebagian besar penulis muda yang satu generasi atau sedikit ada di atas dan di bawah usiaku. Jika saja aku memiliki uang yang cukup untuk mewujudkannya.

Sayang tidak. Menulis sesuai dengan apa yang aku ingin sampai sekarang masihlah sebuah utopia.

Setelah menyelesaikan novel pertamaku di usia yang sama dengan saat van Gogh pertamakali menjadi seniman. Aku merasa, kapan aku bisa sedikit mendekat utopiaku? Pada akhirnya, semua tetaplah tulisan kasar. Tulisan-tulisan tak jelas yang sangat tak memuaskan.

Ada puluhan novel di dalam kepalaku yang mirip rangkaian film dan jejaring kisah. Dan ada ratusan buku dan ribuan gagasan yang bisa aku tuliskan kapan pun aku. Setiap hari dan setiap waktu, gagasan dan suatu pemikiran baru terus berkembang. Pada dasarnya, isi kepalaku adalah gudang segala jenis kisah yang bisa aku tuangkan kapan pun aku mau. Asalkan aku diberi kesempatan dan pembiayaan untuk bisa menuliskannya.

Jadi dalam kasusku, aku tak pernah kekurangan ide menulis sedikit pun. Aku hanya sekedar menyimpannya sendiri agar orang-orang masih bisa menerimaku di dunia nyata. Terlalu banyak hal aneh yang mereka tak siap untuk memasuki alam pikiranku ini.

Jika ada penulis yang kekurangan dan kebingungan dengan mencari ide. Siapa pun perlu mempertanyakannya. Seorang yang hidup dalam dunia gagasan tak akan pernah kekurangan gagasan. Walaupun gagasan itu bukan asli miliknya atau dia hanya seorang penenun. Setidaknya dia bisa menulis banyak hal yang dia mau.

Mungkin itulah alasannya aku nyaris benci dengan para sastrawan dan penyair yang satu generasi denganku. Mereka hanya sekedar menulis.

Dan novel keduaku sendiri, juga hanya akan menjadi tulisan kasar saja. Setidaknya, tulisan kasar dan buruk milikku jauh lebih baik dari sebagian besar sastrawan muda yang dikenal saat ini.

Sejujurnya aku bisa menuliskannya dalam satu bulan saja seandainya aku memiliki setidaknya uang lima juta di tangan. Atau cukup satu sampai dua juta dan sisanya untuk membayar kos selama setahun penuh. Asalkan aku tak diributkan dengan membayar kos bulan berikutnya dan berikutnya. Aku benar-benar bisa menulis dengan tenang.

Bagiku sendiri, novel kedua ini akan menjadi novel yang sulit sekaligus mudah. Karena, selalu, pertanggungjawaban terhadap apa yang aku tulislah yang sangat berat. Aku bukan tipe kebanyakan penulis dan sastrawan muda yang nyaris bingung untuk diajak bicara dan anehnya, akan ketakutan dan bungkam saat ada di depan publik luas. Entah saat bedah buku atau seminar.

Aku filsuf. Dan sekali lagi, aku tak akan pernah sudi jika disebut sebagai sastrawan suatu saat nanti. Aku malu melihat sastrawan segenerasiku yang nyaris terbelakang layaknya para seniman muda yang susah diajak bicara karena otaknya begitu sempit. Di kalangan seni sendiri aku bahkan sering bertanya, mengapa Martin Suryajaya yang menulis Sejarah Estetika dan bukan kalian?

Hal yang aneh bagiku sendiri adalah betapa buruknya lembaga kesusastraan di negara ini. Mereka terlalu banyak memilih penulis-penulis buruk dan mengabaikan banyaknya penulis-baik genius atau sangat berbakat. Ya, lembaga sastra dan para sastrawan tua membuat generasi muda sastrawan Indonesia menjadi terlihat kerdil dan semacam orang bodoh. Akan sangat memalukan, jika para penulis yang secara teknik, gaya bahasa, tema, gagasan, dan bahkan ilmu pengetahuan semacam itu, diberi banyak uang dan dipertunjukkan ke luar negeri di mana mereka tak akan menghasilkan apa pun yang penting.

Terlalu banyak uang besar terbuang di tangan penulis yang salah. Terlampau banyak uang terhamburkan di mulut para penulis yang buruk. Sangat disayangkan.

Dari pada membuang-buang uang yang begitu banyaknya itu tanpa hasil memuaskan. Berikan saja uang itu padaku. Akan aku berikan banyak novel luar biasa yang jarang dilihat seseorang.

Baiklah, karena aku dan bakatku ini benar-benar tak dianggap ada. Aku akan menuliskannya seorang diri. Walau dengan tertatih dan kadang ingin marah saat aku harus berjuang membiayai hidupku dan itu berarti, aku tak bisa menulis dengan tenang.

Novel kedua yang hanya 150 halaman, yang seharusnya bisa ditulis dalam waktu satu bulan. Ditulis dengan daftar refrensi yang membuatku ingin marah. Mungkin akan menjadi dua sampai tiga bulan lamanya karena alasan klasik; aku tak memiliki uang dan barusan saja terkena kasus penipuan.

Uang yang cukup membantuku untuk tenang karena aku tidak harus terganggu mencari uang, membayar kos, makan, membeli buku refrensi, mengobati sakit fisik dan jiwaku.

Novel keduaku pun mengalami nasib yang sama dengan novel pertamaku. Menulis yang ideal pun akhirnya tak mungkin.

Baiklah. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Jika uangku tidak hilang karena tertipu. Aku pastinya sudah memesan buku Monet, Dali, dan Constable dari penerbit yang ada di Belanda dan Inggris. Jika aku memiliki uang, harga buku tiga juta bagiku masihlah murah jika aku memang membutuhkannya.

Para filsuf tidak seperti para sastrawan hari ini yang sangat tak bertanggungjawab. Berilah sastrawan uang yang cukup banyak maka mereka tak menghasilkan apa pun dan menjadi malas. Berikan uang itu pada seorang filsuf. Maka dia akan menulis begitu banyaknya dan tak terduga. Perbedaan yang begitu mencolok dan mudah diikuti.

Yah, aku akan berjuang untuk novel keduaku ini. Dengan segala yang serba kekurangan yang tengah aku hadapi. Aku ingin tahu apa yang bisa aku lakukan.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang