BERAKHIRNYA KEBAHAGIAAN PENDUKUNG JOKOWI

211 3 0
                                    

Di tengah dolar yang bagaikan mengamuk, kondisi psikologis pemerintah, para pengusaha hingga dunia usaha berada dalam keadaan terkonyolnya. Para pengamat dan pemangku kebijakan lalu menyuarakan kekecutan akan daya beli masyarakat Indonesia yang terbilang kecil di depan negara-negara besar dunia. Ini tak ubahnya kekonyolan lain saat hanya sekedar garam yang menjadi langka dan mahal atau beras yang naik begitu tinggi, sudah membuat negara dan masyarakatnya resah dan khawatir. Sebagai negara dengan masyarakat konsumen terbesar dunia. Apa yang terjadi jika mendadak gas dan bensin menghilang di pasaran selama lebih dari satu bulan? Atau ketika listrik yang menjadi penyokong utama negara tak mampu lagi menyuplai kebutuhan masyarakat Indonesia selama satu sampai dua bulan?

Negara ini tak pernah dipikirkan untuk memikirkan masa depan semacam itu. Negara ini telah tersandra dengan para politisi hari ini dan sekarang. Itulah sebabnya, pandangan jauh ke depannya akhirnya diabaikan demi kestabilan semu sesaat. Jokowi adalah salah satu pemain yang menggerakkan kedamaian dan kestabilan semu tersebut dengan cara-cara yang kadang buruk dan terkesan buru-buru. Seolah-olah menandakan seorang presiden yang tak mampu berpikir jauh kecuali dalam kerangka beberapa hal saja yang mampu dilakukannya. Itulah sebabnya terkadang presiden bertubuh kurus itu terlihat sangat plin-plan dan ragu-ragu dengan kebijakan sosial dan politiknya. Pada dasarnya, melihat Jokowi, tak ubahnya bagaikan melihat seorang politikus yang tengah bermain kursi untuk sekedar mengamankan kekuasaan dengan cara paling sederhana yang pernah diketahui sejak dahulu kala: menenangkan khalayak masyarkat Indonesia, menjaga kestabilan negara dan mengamankan perekonomian.

Tapi Jokowi lupa, dia berdiri di abad-21 yang sebentar lagi menuju pertengahan abad, yang bagi banyak pengamat, ekonom, pemikir, pemimpin, dan ilmuwan dunia adalah masa paling genting dalam sejarah manusia modern. Ini tak ubahnya saat kita melihat Barack Obama yang melahirkan Trump. Dan setelah Angela Merkel turun beberapa tahun lagi, Jerman yang digdaya mungkin akan memasuki krisis politik dan identitas terparahnya. Setiap ekonom dan pakar paling bodoh harusnya tahu, sistem perekonomian Indonesia ditopang dengan hukum yang buruk beserta bahan mentah dari alam yang kelak akan semakin berkurang dengan cepatnya. Saat ekonomi anjlok, politik identitas yang begitu buruk di masa Jokowi, akan mengamuk di era siapa pun yang kelak akan memimpin kembali negara ini.

Politik identitas itu diperparah dengan kegagapan negara dalam menangani banyak hal, baik menyangkut keamaan nasional maupun urusan sepele menyangkut hal-hal normatif. Ini adalah kebodohan tak terampuni di abad ini, di mana negara-negara yang lain tengah was-was menyambut pertengahan abad yang tak hanya akan terasa berat bagi negara-negara dunia ketiga dan berkembang. Tapi akan menjadi sangat merugikan bagi negara mana pun yang memiliki tingkat pendidikan (SDM) teknologi yang rendah. Bahkan mengancam negara-negara maju itu sendiri dengan perpecahan. Dengan kegagapan yang nyaris seperti anak kecil, pemblokiran sekian banyak situs dan aplikasi tanpa kekritisan yang berarti, sampai begitu mudahnya membubarkan organisasi tanpa debat terbuka yang memadai menjelaskan watak konservatif dari para pemangku kebijakan atau pemerintah beserta para dewan yang entah sebenarnya mewakili siapa.

Ini berarti dunia pendidikan kita dalam sistem demokrasi nyaris tak ke mana-mana. Presiden, menteri, anggota dewan, gubernur, sampai guru dan murid ternyata memiliki benang merah yang nyaris sama; konservatif dan gagap dalam menghadapi diskusi atau hal-hal yang baru. Pada akhirnya pilihan terakhirnya adalah mengamankan kekuasaan. Politik populisme berakhir pada tak mendidik rakyatnya untuk berpikir semakin terbuka dan mau berkonfrontasi secara bijak dalam perdebatan intelektual dan polemik yang serius sehingga akan tercipta inovasi gagasan dan kebijakan yang lebih baik. Tapi hanya sekedar untuk memulihkan toleransi semu. Di mana orang-orang sebenarnya tak saling berkepentingan untuk sekedar saling menoleh atau berempati. Orang bersikap manis di jalanan karena perekonomian di Indonesia masih belum rusak parah. Hanya itu. Ini lah salah satu alasan kenapa berbagai gejolak identitas dan keagamaan tak terlampau memburuk dan bagai mudah diatasi. Mereka yang tidak puas pun sedikit menutup mulutnya karena masih bisa bekerja dan mendapatkan gaji setiap harinya. Apa yang terjadi dengan identitas dan agama tanpa uang di tangan? Kita sudah sangat bisa membayangkannya.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang