FILSUF DAN TUKANG TAMBAL BAN

645 20 0
                                    

Diogenes dan Aleksander Agung.
Filsuf dan satunya seorang raja besar dari Makedonia yang ambisius. Murid Aristoteles yang keluar dari reruntuhan perang Peloponesia. Yang satu adalah sesosok tua bertelanjang dada dan hidup menggelandang dengan tongnya. Dan menganggap harta benda adalah rantai menuju kebebasan berpikir, kemerdekaan diri dan menikmati hidup. Satunya lagi raja besar yang berkeinginan menguasai seluruh daratan. Pendiri aliran sinis dan seorang raja yang diagungkan oleh para pemimpin besar, dan sejarahwan setelah ia mati. Berhadap-hadapan.

Diogenes, sosok yang tak peduli malaikat, bangsawan, atau bahkan Aleksander yang Agung itu sendiri. Memikat sang raja karena sikap dan cara berpikirnya yang aneh dan tak biasa. Oh ya, setelah bertemu Diogenes, sebelum memimpin perang menuju Persia, Aleksander membagi-bagikan hartanya kepada para tentaranya hingga ia sendiri tak memiliki apa-apa kecuali harapan. Ya, hanya sebuah harapan. Pemimpin semacam itu, jelas hampir mustahil ada di zaman ini. Dan filsuf semacam Diogenes yang tak gentar terhadap hidup miskin, atau sealamiahnya, tak gentar dengan orang-orang berjulukan raja dan yang ada di bawahnya. Dua orang ini, sebuah cermin di mana atas dan bawah adalah penting dan saling memengaruhi. Dan memiliki kebijaksaannya sendiri.

Sang raja, berani berkata jujur, berubah, dan menundukkan diri. Sebuah sikap, yang hari ini susah ditemukan. Kekayaan dan kedudukan, sering membuat orang angkuh dan lupa diri. Begitu juga para filsuf penakut yang terjerat hidup dalam lingkaran pertemanan dan kecanduan akan kenyamanan hingga lupa siapa dirinya. Singkat cerita, dua sosok itu sekarang nyaris mustahil ada kecuali segelintir yang tersisa.

Kini, cerita berikutnya, adalah filsuf amatir dan tukang tambal ban atau bengkel. Di sebuah jalan. Ketika malam menyisakan genangan dan bau hujan yang khas dan lembut.



Sang filsuf amatir, bernama Merah Naga. Karena keterlaluan amatirnya, atau lebih tepatnya tolol, ia harus diajari oleh para sopir truk dan kernetnya yang membantunya mengeluarkan rantai dari jeratan baut dan mur yang susah untuk diotak-atik karena kekurangan alat. Tak ada obeng. Hanya ada tang, dan beberapa alat. Karena sang filsuf nyaris tolol dan idiot, para supir terpaksa geleng-geleng kepala, dengan nada suara sabar, mengarahkan, dan tentunya, membuat sang filsuf sangat malu, dan berkata dalam hati; sial, ternyata ketololanku sungguh luar biasa.

Karena rantai terjebak dan susah dibebaskan. Terpaksalah para supir menyuruhku melepas rantai lebih dulu. Seperti bayi mungil tak berdaya dan sangat rentan, menurutlah aku dengan agak bingung, bagaimana caranya melepas rantai? Diarahkanlah aku, dengan kesabaran bapak-bapak yang tabah ditempa usia jalanan. Satu persatu cara diperkenalkannya kepadaku agar aku mengerti. Mereka mencoba tak turun tangan untuk langsung menyelesaikannya dengan maksud agar aku belajar dari ini semua. Sangat bijak memang. Sayangnya, kebijaksanaan mereka membuatku sangat bertambah tolol. Sungguh-sungguh tolol. Sudah diarahkan, masih juga tak mengerti. Oh tidak, sang filsuf pun kalah dan terlihat konyol di depan benda mati seperti rantai motor! Ia otak-atik pakai obeng, lalu tang, mencoba untuk melepas sambungan rantai. Gagal. Lalu gagal lagi. Gagal lagi. Dengan sabar, para supir memberi arahan agar aku sendiri yang mengerjakannya. Oh, tangan sang filsuf akhirnya tercabik oleh tang karena ketololannya! Darah mengucur. Para supir geleng-geleng kepala. Sang filsuf tersipu malu. Menyerah.  Membiarkan para supir yang menangani; mencopot sambungan dan menyambungnya kembali setelah sang filsuf gagal menyambungkannya. Kata-kata bijak meluncurkan dari para supir, sabar mas, jangan buru-buru. Yang sabar. Tak perlu keburu-buru sesuatu.

Filsuf tak sabaran yang gagal memahami rantai. Dan para supir yang bijak, sabar, dan rela memberikan pengalaman dan waktunya di malam hari; mendekati jam 11 malam.

Setelah rantai agak terpasang, motor tak bisa digerakkan. Rantai pun tak mau terpasang dengan sempurna. Oh tidak, rantai depan putus! Kali ini supir menyerah. Meminta ijin melanjutkan perjalanan dan mungkin masih geleng-geleng kepala melihat seorang manusia yang ketololannya melebihi kambing di pasar. Supir menyerah, sang filsuf pun, bersikap santai. Mungkin ia sedikit dewasa sekarang. Semua masalah kini dihadapinya dengan cukup santai asal masih ada uang mencukupi di kantong. Tapi fakta tetaplah fakta. Malam ini para supirlah yang cerdas dan bijak. Sang filsuf sesosok kerdil dan tak tahu apa-apa.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang